Bicara soal keberagaman, Indonesia punya banyak: tradisi, bahasa, budaya, bahkan agama. Yang terakhir ini sensitif banget, memang, bahkan seringkali jadi topik panas yang menimbulkan perdebatan tanpa ujung-pangkalnya. Saya sendiri belum mencapai tahap muslimah yang kaffah, masih perlu banyak belajar. Tapi ada cerita tentang keberagaman agama di Indonesia dari sudut pandang saya.
Waktu masih kecil, saya punya tetangga dekat yang rumahnya persis di depan rumah keluarga kami. Hampir setiap malam Minggu saya dan dia saling menginap, bahkan pergi bersama. Tetangga saya memeluk agama Advent yang mana setiap Sabtu merupakan hari Sabat atau hari suci mereka. Kalau saya menginap di rumahnya, tiap pagi sekitar pukul tujuh keluarganya berkumpul untuk mengadakan semacam doa pagi. Saya sering ragu apakah saya harus ikut mendengarkan atau berada di ruangan lain. Tanpa disangka mereka turut mengajak saya berkumpul dan menyebut nama saya dalam doa paginya. Saat itu saya belum mengerti, jadi saya aminkan saja. Alhamdulillah walaupun sudah terpisah jarak keluarga kami tetap rukun.
Waktu SD, ayah saya pernah mengajar penulisan kreatif dan periklanan di Yayasan Buddha Dharma Indonesia. Awalnya saya pikir itu sejenis kursus atau kampus kecil, karena ayah saya datang mengajar seminggu sekali setiap hari Rabu. Kalau saya dan adik saya ikut ke sana (biasanya saat libur lebaran dan ART belum balik dari kampung), biasanya kami dilarang lari-lari karena rupanya ruangan yang dipakai ayah kala mengajar adalah altar pemujaan. Selain itu, dulu saya paling senang diajak ke Megamendung karena sembari ayah memberi workshop, saya ketemu teman-teman baru, suasananya asri dan penuh kegiatan berbau seni.Tempatnya agak terjal karena terletak di salah satu bukit, dan di puncaknya terdapat vihara yang sangat luas. Hampir semua peserta yang ikut ke tempat yang sama pada waktu tertentu. Saat itu ada teman yang bertanya, "Kamu nggak gongyo (berdoa)?". Saya menggeleng karena asing dengan istilah itu, tapi ya namanya anak-anak kami bermain lagi, terlepas saya satu aliran dengan dia atau tidak. Lambat laun saya jadi tahu ternyata kegiatan tahunan tersebut adalah semacam retret atau pesantren kilat yang diadakan oleh yayasan tempat Ayah saya membagi ilmu. Walau sekarang sudah jarang mengajar ke sana, setiap hari kedua Idul Fitri beberapa murid beliau bertandang ke rumah dan sudah kami anggap keluarga.
Ketika saya SMA, saya dan keluarga berlibur ke Bali, sekaligus mengunjungi keluarga tante saya di sana. Selama di sana saya belajar banyak tentang cara orang Hindu beribadah dalam keseharian, mulai dari sesaji yang diletakkan di depan rumah atau toko, dupa, bahkan upacara tradisional dan lambang dari apa yang mereka yakini dalam berbagai wujud: patung, alam, sesembahan atau pakaian. Beranjak dewasa saya pun berhadapan dengan orang dari berbagai latar belakang yang berbeda, dan saya pribadi maklum karena tempat yang kita tinggali memang sarat dengan perbedaan.
Ya, sejak dulu saya terbiasa dengan keberagaman, terutama dalam hal keyakinan. Meski sejak SD sampai kuliah ditempatkan di sekolah dan universitas Islam, tiga cerita tadi membuat jiwa, raga dan pikiran saya mengakui dan menghargai perbedaan yang ada di sekitar saya sampai sekarang.Dan selama kita rukun dan berpikiran terbuka, kita akan baik-baik saja. Dengan catatan, iman kepercayaan kita harus tetap teguh. Gimana menurut kamu? share yuuk!
Regards, Ratri
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
walah 3x yang ini malah belum ada yang comment? hehehey sensitif sih ya di negara ini?
BalasHapusbaik2 saya pertamax, aganwati:
saya bilang kamu bahagia & beruntung punya orangtua & lingkungan yang sedari kecil membiarkan kamu membuka mata batin (bukan Mata Batin Prof. Trelawney) seluas-luasnya sehingga kamu ngeh bahwa manusia beragam dalam hal keyakinan.
"Dengan catatan, iman kepercayaan kita harus tetap teguh."
yaa, tentu saja! kenal agama lain ≠ ikutan agama mereka, apalagi sampe sinkretisme, walah2 ngaco ieu mah neng. sama seperti kamu punya teman anak band, bukan berarti kamu HARUS WAJIB nge-band juga kan.
saya juga bernasib kurang lebih sama seperti kamu, sedari kecil membiasakan diri berpikiran dan berpandangan terbuka dalam hal agama. sebagai minoritas (apalagi masa kecil saya Orde Baru) tentu ditindas & dihina habis2an (udah Chinese, Kristen pula!) sehingga kami jaga jarak dengan orang2 cupat seperti itu. tapi saya gak mau bohong bahwa banyak juga penganut agama lain yang justru baik sama kami; dengan merekalah kami bergaul.
dan akhirnya saat beranjak dewasa, kenyataan memperlihatkan diri kepada saya: fanatisme sempit (etnis, agama, golongan dsbnya) justru menghambat (!) kemajuan masyarakat.
bisa jadi satu artikel kalo comment ini saya lanjutkan, jadi ya paling saya tutup dengan ringkasan aja tentang kenapa kira2 seseorang jadi fanatik/ radikal/ cupat:
1. kelompoknya (ras, agama, partai politik, dsbnya) mayoritas di komunitas/ negara tersebut. aku akui secara jujur, bule Kristen (amrik, yahudi, dsbnya) pun ada juga yang begitu. neo nazi aja ada *hehehe*
2. pendidikannya rendah. Kaum akar rumput seperti ini biasanya kurang panjang kalo berpikir dan wawasannya pun kurang luas. kalaupun baca koran, paling koran kuning. akibatnya mereka gampang dihasut provokator jahat.
3. kebalikan dari kita berdua: sedari kecil, lingkungan dan orangtua mereka udah salah banget dalam mendidik mereka. Tom Marvolo Riddle tampaknya contoh untuk point 3 ini.
4. (sebab lain, isi aja sendiri ah... hwhwhwhwhw)
iyus