Dua belas laki-laki duduk bersila di halaman dengan wajah muram, ketika gerimis lebih sering datang ketimbang pedagang keliling. Mereka mengenakan pakaian serba putih dan pedang di sisi kiri,begitupun para istri dan anak-anak, bahkan orang tua mereka yang telah renta. Lengking tangis para bayi bersahutan dalam dekapan erat ibu mereka, yang diam-diam menangis karena takut. Sementara anak-anak yang lebih besar resah melihat ibu, ayah, kakak, adik, teman-teman sebaya bahkan kakek-nenek mereka mengenakan pakaian yang sama. Para istri dan orang tua kedua belas samurai itu hanya dapat terpekur menatap tanah, seolah pasrah terhadap takdir. Sebagian putra-putra mereka yang sudah cukup umur hanya bisa menggeram, sementara para anak gadis menangis tanpa suara sambil menggenggam belati. Di hadapan Sadayoshi Kitano, para samurai abdi keluarga Kitano memilih menyusul kedelapan puluh rekan sejawat mereka di alam baka daripada terus mengabdi pada kebohongan sang majikan.
Kala itu, tak ada yang lebih mengerikan dari erangan kesakitan saat pedang menghujam perut mereka secara serempak. Para pria kemudian membelah perutnya sendiri, kemudian satu demi satu tumbang ke tanah dengan tatapan kosong. Para ibu menikam bayi dan anak-anak kecil di sela-sela jerit tangis dalam dekapan sebelum membelah perut mereka sendiri, begitupun muda-mudi dan orang tua. Para istri yang tak ingin terpisah dari suaminya menusukkan sebilah pedang ke tubuh mereka berdua, kemudian darah mereka berdua menyatu, menggenang ke tanah sebelum akhirnya jasad mereka roboh ke tanah yang basah.
Rintik hujan menderas, berusaha meredupkan teriakan lirih puluhan nyawa yang meregang di depan Sadayoshi. Perlahan, hujan menghapus jejak darah kental di atas tanah dalam aliran air yang tak jelas akan mengarah ke mana; mungkin ke tanah, dimana hujan akan berlabuh, atau sungai, jika ia cukup deras untuk menemukan alirannya. Melihat halaman rumah bersimbah genangan darah, kini habislah semua pengikut Sadayoshi, yang saat itu hanya bisa jatuh berlutut menyaksikannya. Di dalam rumah, Jirou dan Reiko, putra dan menantu Sadayoshi menutup telinga putra mereka, Takezo rapat-rapat agar tidak terbangun.
Laskar Perempuan Todai, kelompok militer wanita yang dibina Ozuru, istri Sadayoshi dan ayahnya Jyuzaemon lebih mengenaskan: suatu pagi ketika akan berlatih, Ozuru dikejutkan oleh mayat-mayat para prajurit wanita binaannya sendiri, yang bersimbah darah dan kepala terpisah. Sepucuk surat ditemukan di bawah sebuah kepala, mengatakan bahwa mereka tak sanggup menanggung malu dari Sadayoshi. Mereka lebih memilih mati ketimbang dipermalukan karena membela tuan yang salah,begitu kira-kira bunyinya. Saking terkejutnya, Ozuru sampai tak bisa tidur berhari-hari sebelum akhirnya bercerita pada suaminya.
Butuh waktu seminggu untuk menggali akar dari kengerian yang terjadi pada keluarga Kitano: rupanya keempat kakak Sadayoshi yang merupakan para penguasa wilayah Barat murka setelah mengetahui bahwa adik bungsu mereka memiliki anak kembar serta dua orang putri. Sejak awal ayahanda Kitano bersaudara, Sada Kitano menguasai wilayah barat, beliau mewajibkan semua keturunannya laki-laki agar dapat memperkuat klan, sementara anak perempuan dan kembar dianggap aib karena pada akhirnya akan diperistri klan lain,atau dikucilkan masyarakat. Jika hal itu sampai terjadi, bayi-bayi malang itu akan segera dikubur hidup-hidup, atau dicacah kemudian menjadi makanan anjing-anjing yang ada di kastil.
Oleh karena itu, Sadayoshi si pemberontak memilih untuk kabur lalu membangun kehidupan sederhana bersama Ozuru, kemudian membesarkan kelima putra-putri mereka sebagai keluarga ksatria kelas menengah di bawah naungan klan Todai, satu-satunya klan antifeodal dari Timur. Kendatipun sederhana, keluarga Sadayoshi termasuk makmur serta memiliki banyak pengikut yang berasal dari wilayah sekitar Nara. Kitano kehilangan jejak, hingga tiga puluh tahun kemudian.
Keempat kakaknya mengetahui semua kabar Sadayoshi dari Hyuga Iinuma, mantan tangan kanannya yang ternyata masih punya hubungan dengan keluarga istri Sadao, si sulung Kitano bersaudara. Memang selama ini selain Jirou keempat anak Sadayoshi jarang diakui sebagai anak ketika berada di hadapan para abdi, kecuali Takeda, abdi keluarga Ozuru yang memang sudah dipercaya. Alhasil ketika menyadari kemiripan Sadayoshi dan Ozuru dengan Akiko, si kembar dan Ai, Hyuga sakit hati dan menyatakan bahwa Sadayoshi hidup dalam kebohongan kepada para abdi yang lain sehingga terjadilah peristiwa tersebut.
Akhirnya Sadayoshi dan Ozuru memikirkan bagaimana cara melindungi keluarga mereka agar tetap utuh tanpa harus kehilangan harga diri.
“Suamiku, menurutmu apa Miyagi cukup aman untuk anak-anak kita? Aku khawatir akan keselamatan mereka.”ujar Ozuru pada suaminya, tatkala keduanya hendak beranjak tidur malam itu.
“Begitupun aku, istriku. Setahuku, keempat abangku itu belum pernah menginjak tanah ayahmu sejengkalpun, jadi kurasa anak-anak akan aman di sana jika diberangkatkan dari sini pada tengah malam.”ujar Sadayoshi.
“Syukurlah. Jika diberangkatkan selarut itu, siapa yang akan mendampingi mereka jika kau, aku, Jirou dan Takeda di sini?”
“Higen akan mendampingi Akiko dan si kembar, sementara Ai akan didampingi Naoki. Kita cukup beruntung, Ozuru, karena kecerdasanmu membuat mereka berdua terikat pada keluarga ini.” Sadayoshi memandang mesra sang istri, sementara Ozuru merebahkan kepala di dadanya, memeluk mesra sang suami. Sudah lama keduanya tidak berpelukan seperti itu sejak Sadayoshi sibuk mengurus wilayahnya—ketika masih makmur—sementara Ozuru sibuk mengurus rumah, anak-anak dan Laskar Perempuan Todai.
“Reiko dan Takezo harus mengungsi juga?”tanya Sadayoshi, teringat menantu dan cucunya.
“Kata Jirou, jika kesehatan Reiko memungkinkan mereka akan mengungsi ke rumah Tokiwa. Kasihan dia, masih harus mengurus Takezo seorang diri dalam keadaan demam tinggi dan Jirou tak selalu mendampinginya.”ujar Ozuru.
Tokiwa, pewaris wilayah Echigo dan Dewa merupakan sahabat baik Ozuru sejak keduanya masih gadis. Walau kini Tokiwa memiliki dua wilayah kekuasaan yang diurus bersama adik laki-lakinya, Tokimasa, dia amat kesepian. Suaminya, seorang penguasa berusia senja mangkat akibat wabah kolera, sementara putri mereka satu-satunya meninggal saat balita. Karenanya jika ada waktu luang, Tokiwa sering bertandang ke rumah keluarga Kitano, begitupun sebaliknya. Reiko dan Naoki adalah keponakan yang diurus Tokiwa sejak usia kanak-kanak sepeninggal ibu mereka,yang merupakan kakak Tokiwa dan Tokimasa. Oleh karena itu, Tokiwa pasti akan senang jika kemenakannya akan kembali untuk sementara.
“Ya sudah, untuk sementara waktu lebih baik kau tak usah ikut berunding dulu, bantu Reiko merawat Takezo. Aku perhatikan kau sangat lelah akhir-akhir ini, Ozuru.” ujar Sadayoshi seraya membelai rambut sang istri dalam dekapannya.
Senyum kecil merekah di bibir Ozuru. “Benarkah aku kelihatan lelah? Bagaimanapun juga seorang ibu memang harus merawat anak-anak dan rumah tangga—“
“Hei, rumah tangga kita urusan kita bersama. Kaupikir untuk apa aku bersusah payah menikahimu jika bukan karena itu?”
Sadayoshi agak tersinggung mendengarnya, tapi perkataan istrinya toh ada benarnya juga mengingat betapa banyak urusan yang harus dihadapinya seorang diri, selain sebagai kepala keluarga.
“Maaf, maaf..aku hanya bercanda kok..” Ozuru hanya dapat menahan tawa melihat raut kesal Sadayoshi.
“Sudahlah, sana tidur. Soal keberangkatan anak-anak, kita bicarakan besok pagi.”kata Sadayoshi sambil memandang langit-langit kamar dengan sang istri terlelap di pelukannya.
Sadayoshi memejamkan mata untuk berpikir,lalu tertidur tak lama setelahnya.
Dua bulan kemudian
Walau masih dini hari, mata Sadayoshi belum juga terpejam. Dia masih berada di istal kuda,mempersiapkan keberangkatan Ai ke Miyagi. Sadayoshi dan Ozuru kian cemas akan keselamatan putri bungsu mereka setelah kengerian itu terjadi di Nara.
Persediaan bekal dan pakaian sudah terikat di sadel kuda, dan Naoki, salah seorang pengikut setia Sadayoshi yang ditugaskan menemani perjalanan Ai ke kastil kakeknya pun sudah siap dengan mantel dan caping. Sekarang tinggal Ai yang belum juga keluar dari kamar tidurnya, sehingga membuat ayahnya cemas.
Sementara itu di dalam rumah, Ai masih setengah sadar kendatipun dirinya sudah mengenakan baju Rui yang sudah dipersiapkan di samping kasur. Kakaknya, Akiko hampir hilang kesabaran ketika Ai masih meggosok matanya. “Ayo, Ai! Ayah sudah menunggumu di depan!” ujarnya sambil menarik pergelangan tangan dan terus bergegas ke depan rumah sehingga tubuh kurus Ai nyaris terhuyung.
“Aduuh kenapa harus buru-buru, Kak?” kilah Ai, sedikit kesal dibentak sang kakak.
“Kau harus cepat-cepat pergi ke tempat Kakek sekarang, ditemani Naoki.”
“Sekarang? Aku masih ngantuk..”
“Ini demi keselamatanmu, Ai. Bangunlah.” kata Akiko sambil menepuk-nepuk pipi Ai, yang tinggi tubuhnya hampir menyamai Akiko.
“Tapi kenapa Ayah dan Ibu tidak memberitahuku?”tanya Ai.
“Ayah dan Ibu sudah memberitahumu,dasar pelupa! Keluarga kita dalam bahaya, kami tak ingin kau ikut mengalami hal-hal buruk yang mungkin terjadi.”
Sesampainya Akiko dan Ai di depan istal kuda, Sadayoshi, Naoki, dan saudara-saudara lelaki mereka: Jirou dan si kembar Rui-Daiichi sudah menanti kedatangannya. Sadar hanya dirinya yang berpakaian lengkap, air muka Ai berubah sedih.
“Ayah, kenapa hanya aku yang pergi?”tanya Ai cemas.
“Di sini bukan lagi tempat yang aman untukmu, Nak. Kau akan lebih senang dan aman di Miyagi.” ujar Sadayoshi.
“Tapi aku tak mau pergi sendirian! Bagaimana dengan Ayah, Ibu dan Kakak-kakak? Bagaimana dengan Kak Reiko dan Takezo?”Ai menatap nanar keempat kakaknya, kemudian menangis.
“Kami akan menyusulmu jika sudah selesai, Ai. Semua akan baik-baik saja,aku janji.”ujar Jirou sambil membantu Naoki memasang pelana kuda. Bukannya tenang, tangis Ai makin menjadi hingga Sadayoshi pun memeluknya erat. Mendengar isak tangis sang adik, Jirou menatap kosong bentangan langit hitam pekat yang menaunginya: hampa, seperti keadaan keluarganya kini.
“Lalu bagaimana kalau aku tidak dapat bertemu kalian lagi?”isaknya, menoleh ke arah si kembar dari sela-sela bahu ayahnya.
“Jangan bilang begitu! Kita pasti bertemu lagi di tempat Kakek, betul kan, Daiichi?” imbuh Rui, kemudian disambut anggukan tegas kembarannya,yang kini berusaha keras menahan air mata.
“Lihat,kan? Tak ada yang perlu dikhawatirkan, Ai. Ayah janji, begitu sampai di Miyagi, orang pertama yang ingin ayah temui adalah kau.”ujar Sadayoshi sembari mengeratkan dekapannya.
Saking sunyinya malam itu, suara langkah kaki lembut Ozuru menggema dari dalam rumah. Tangan kanannya menggenggam belati yang tersimpan di dalam obi-nya. Garis wajah Ozuru yang masih sekencang anak gadisnya sedikit berkerut, menandai kekhawatiran seorang ibu terhadap putrinya.
“Ibu!” seru Ai.
“Ai, sayangku, dengar Ibu baik-baik, ya?”kata Ozuru seraya memegang kedua pipi bulat nan ranum Ai yang diwarisinya. Ai mengangguk. “Di luar sana, akan ada orang-orang yang mungkin membuatmu celaka. Jadi, jangan jauh-jauh dari Naoki, karena kalian hanya berdua dalam perjalanan ini.”
“Siapa yang mau mencelakaiku, Bu? Aku kan bukan anak nakal..”sergah Ai sengit.
“Orang jahat semakin banyak, Ai. Ibu, Ayah dan kakak-kakakmu tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu. Oleh karena itu,” Ozuru mengeluarkan belati dari obinya, kemudian menyerahkannya ke tangan mungil Ai. “bawalah ini kemanapun kau pergi,anakku. Kau sudah besar, sebagai anak samurai kau juga harus bisa melindungi dirimu dan Naoki kelak, mengerti?”
Ai menatap sang ibunda dengan tatapan berkilat-kilat walau masih ada sisa kesedihan bercampur takut di kilatan sinar matanya setelah memasukkan belati dalam obinya. “Baik,Ibu. Aku berjanji. Tapi Ibu harus janji padaku akan segera pergi ke Miyagi, agar kita semua akan segera berkumpul kembali.”
Ozuru mengangguk pelan, kemudian membetulkan tudung yang agak miring di kepala putri bungsunya.
Akiko, yang sedari tadi membeku di dekat pintu berjalan mendekati ibu dan adik perempuannya, kemudian menggenggam tangan Ai dengan penuh sayang. “Jaga dirimu baik-baik, Ai. Bawa ini juga, agar kau selamat.”ujar Akiko sambil menyelipkan jimat perlindungan berupa sejumput kain merah muda bermotif bunga ceri ke dalam genggaman tangan sang adik.
“Aku akan merindukanmu, Kak Akiko.” kata Ai sambil memeluk Akiko erat. Akiko hanya tersenyum kecil sambil mengusap punggung adiknya. Setelah melepaskan pelukan, Naoki menghampirinya dan berkata, “Kau sudah siap, Ai-chan?”
Ai mengangguk sedih, kemudian berjalan menuju kudanya dengan langkah lunglai. Sekuat apapun dirinya kini setelah dihujani kata-kata hiburan dari orang tua dan kakak-kakaknya, Ai sebetulnya masih enggan meninggalkan mereka semua dalam kesulitan. Ia berandai-andai, kalau saja umurnya sedikit lebih tua, ia akan tetap bersama keluarganya. Karenanya, gadis kecil itu menggigit bibir keras-keras agar tidak menangis lagi.
Sadayoshi, sambil menepuk punggung kuda berkata pada Naoki, “Jaga Ai baik-baik, Naoki. Kabari kami setelah kalian sampai di Miyagi.”
“Akan hamba laksanakan, Tuanku.”balas Naoki singkat sambil membungkuk takzim.
“Tolong sampaikan salamku pada Ayah,ya?”imbuh Ozuru, dibalas anggukan takzim Naoki.
“Jika hamba boleh meminta sesuatu, Tuan dan Nyonya Kitano, tolong jaga kakak saya dengan baik.” pinta Naoki sambil bersimpuh di hadapan Sadayoshi dan Ozuru. Rautnya agak sedih begitu teringat Reiko, kakak kandung yang sangat disayanginya.
“Kau tak perlu kuatir, Naoki. Reiko akan baik-baik saja selama bersama kami, akan kukabari kau jika sesuatu terjadi padanya.”ujar Jirou, menghibur adik iparnya.
“Terima kasih, kakak ipar. Kami berangkat dulu,”balas Naoki, kemudian kudanya pun mulai berpacu secepat kilat menuruni pedesaan mereka yang terletak di perbukitan.
Ketika sosok Ai dan Naoki di atas kuda menghilang, seluruh putra-putri Kitano menjejeri Sadayoshi dan Ozuru, saling berpegangan tangan. Dalam harapan Sadayoshi, Ozuru, Jirou, Akiko, Rui dan Daiichi, mereka berdua bisa sampai di Miyagi dalam keadaan selamat tanpa kurang suatu apapun.
Dan di dalam rumah, Takeda, abdi ayah Ozuru yang ditugaskan melindungi kediaman Kitano memandang sedih ke halaman depan seraya memanjatkan sebuah doa pada Dewi Kannon: memohon keselamatan dan keutuhan keluarga Kitano hingga akhir hayatnya.
Tiga hari setelah keberangkatan Ai
Cuaca tengah malam pada bulan Desember di Nara amat menggigit. Kediaman keluarga Sadayoshi terlihat sepi tatkala semua orang masih terbuai mimpi di balik mata yang terpejam. Hanya satu orang berjaga di depan rumah; Higen Toyama, satu-satunya pengikut Sadayoshi setelah terjadinya pengkhianatan besar-besaran atas prakarsa Hyuga. Sembari menahan kantuk, Higen berjalan mengitari rumah sembari menggenggam pedangnya. Mata elangnya menelusuri setiap sudut halaman rumah,memastikan tak ada serangan dadakan atau gerak-gerik mencurigakan walaupun sedikit terhalang salju. Sebisa mungkin Higen melindungi keluarga Kitano—keluarga tunangannya, Akiko—meski seorang diri.
Kemudian sesayup terdengar gemerisik salju dari arah timur rumah. Suara langkah kaki terbirit-birit membuat Higen bersiap mengeluarkan pedangnya dan melangkah pelan-pelan ke arah sana tanpa membuat lantai kayu berderit. Semakin Higen mendekati pojok depan rumah, sumber suara semakin jelas; desis lirih tanto—pedang pendek—dikeluarkan dari sarung dan desah gelisah cukup mudah untuk Higen kenali sebagai penyusup tanpa harus melihat secara langsung.
Higen muncul di hadapan si penyusup dengan pedang teracung tepat di depan leher.”Siapa kau?!” suara Higen menggelegar bak petir kala badai. Si penyusup, seorang pria kurus berumur tiga puluhan berpakaian biasa tubuhnya berkeringat dingin, gemetar luar biasa saat melihat Higen sampai tanto-nya terlepas dari pegangan. Sambil tetap mengacungkan pedang, Higen mendekat.
Sementara itu di dalam rumah, Jirou dan istrinya, Reiko sedang menenangkan si kecil Takezo yang sedang rewel mendengar gelegar suara calon adik iparnya di luar. Kemudian digesernya pintu kamar yang menghadap ke bukit belakang rumah, namun ditutupnya kembali dalam hitungan detik setelah mengetahui apa yang dia lihat di sana. Segera, ia membangunkan ayah, ibu, Akiko, Rui dan Daiichi serta Takeda untuk berkemas secepatnya. Seketika, seisi rumah kembali dipenuhi orang berlalu-lalang dalam cahaya redup sehingga membuat si penyusup tambah panik.
“Kau belum jawab pertanyaanku. Siapa kau?” Melihat ekspresi ketakutan di wajah si penyusup, nada bicara Higen sedikit melunak. Karena panik, si penyusup langsung mengambil tanto lalu menusuk perutnya sendiri.
Higen terkesiap. Melihat gelagat si penyusup barusan, agaknya dia bukan orang jahat,atau hanya pesuruh. Maka sebelum si penyusup kehilangan kesadarannya, Higen menopang tubuhnya. Kemudian, sepatah dua patah kata keluar dari mulut pria malang itu.
“Bawa..Tuan Kitano…pergi…mereka..akan..datang…”ucap si penyusup lirih.
“Siapa yang akan datang?” tanya Higen tidak sabar.
Dalam sisa-sisa nyawanya, tangan kanan si penyusup menunjuk ke arah bukit. Ada sosok menjulang tinggi di atas pelana kuda kelabu, menumpahkan kemarahan pada penghuni rumah Kitano melalui matanya dari kejauhan. Dari helm tanduk banteng yang sederhana—namun mencolok, dapat dikenali bahwa sosok tersebut adalah Sadao Kitano, kakak sulung Sadayoshi. Satu demi satu adik-adik Sadao megapit sang kakak, disusul pasukannya menjejeri bukit hingga putihnya salju tak lagi tampak dari rumah Kitano. Panji-panji merah yang berkibar sama angkuh dengan pemegangnya menegaskan bahwa sebentar lagi serangan akan dilaksanakan.
Kitano bersaudara sudah muak akan penolakan si bungsu yang berujung aib keluarga: memiliki anak perempuan dan anak kembar, yang dianggap pembawa sial bagi klan. Maka tentu saja setelah mengetahui hal tersebut dari Hyuga keempatnya langsung bergegas ke Nara untuk membunuh Akiko, Ai, Rui dan Daiichi.
Higen membelalak, isi perutnya seakan jungkir balik. Sial! Bagaimana bisa keluarga Tuan kubawa kabur jika pasukannya sebanyak ini?!batinnya kesal. Ketika ia berpaling pada orang yang ditopangnya, penyusup malang itu sudah tak bernyawa. Lantas ia bergegas ke dalam rumah,menunaikan tugasnya seorang diri.
Begitu masuk rumah, rupanya Sadayoshi dan keluarganya sudah siap dengan barang bawaan mereka masing-masing. Bahkan Sadayoshi, Ozuru, Jirou, Akiko, Rui, Daiichi dan Takeda telah memakai baju zirah di balik kimono mereka dan memegang pedang masing-masing. Reiko berdiri di belakang sambil menenangkan Takezo yang masih berusia dua tahun dalam gendongannya.
“Tuanku! Anda harus segera pergi dari sini! Pasukan klan sudah tiba!”kata Higen seraya berlutut di depan tuannya.
“Aku sudah tahu. Jirou tadi memberitahu kami semua. Sekarang kau bawa putriku dan si kembar jauh dari sini. Mengerti?”tandas Sadayoshi.
“Mengerti, Tuanku! Tapi bagaimana dengan Lady Reiko dan Takezo?”
“Jangan kuatir, mereka akan pergi bersamaku. Pergilah sekarang, anak muda!”balas Takeda. Tidak seperti Higen yang dilanda kepanikan, Takeda justru terbiasa menghadapi kekacauan seperti ini; mengingat dulu dia ditugaskan di rumah ayah Ozuru, Jyuzaemon yang memiliki daerah kekuasaan yang cukup luas di wilayah timur.
Wajah pucat Akiko memandang Sadayoshi lekat-lekat, ketakutan jelas terpancar di matanya. Sementara Rui dan Daiichi tidak sepanik kakak perempuan mereka, hanya saja keduanya terlihat bingung melihat kepanikan yang melanda keluarga di sela-sela kantuk yang masih menyelimuti wajah si kembar. Tanpa melepas pandangan pada ketiga anaknya, Sadayoshi berkata, “Kalian dengar apa kata Takeda, pergilah! Ayah, ibu dan Jirou akan menyusul nanti.”
“Aku tahu, Ayah! Tapi kemana kita akan pergi setelah dari sini?”pekik Akiko.
“Kita mengungsi ke Echigo, tempat paman Takeda tinggal. Setelah itu baru ke Miyagi, bergabung dengan Kakek dan Ai.”ujar Jirou sembari mengikatkan pedang ke sabuknya. Tubuh gempalnya makin kekar oleh baju zirah yang dipakainya.
“Higen, pastikan adik-adikku aman di tanganmu. Jika terjadi apa-apa, suruh mereka bersembunyi di balik akar pohon ek. Aku mengandalkanmu.” imbuh Jirou pada Higen sambil menepuk bahunya, kemudian bersiap memakai helmnya dan menuju ke pintu depan.
Higen mengangguk, kemudian menggiring Akiko, Rui dan Daiichi ke luar rumah beserta barang-barang mereka. Keempatnya berlari menuju hutan yang terletak di belakang rumah, mencari tempat persembunyian sementara jika bahaya mengancam. Tak lama setelah mereka berlima masuk ke hutan, terdengar suara derap kaki kuda tepat di belakang mereka. Sadamu Kitano, salah seorang abang Sadayoshi—paman mereka berseru lantang dari atas kuda, “HEI ANAK-ANAK HARAM KITANO!! TUNJUKKAN RUPAMU, ANAK-ANAK IBLIS!!”
Menyadari seruan tadi ditujukan pada mereka bertiga, Rui yang emosinya mudah terpancing segera mengeluarkan pedangnya, namun dicegah oleh Higen. “Jangan pedulikan dia, Rui! Kau harus terus berlari!”sergahnya. Malas berdebat dengan Higen, Rui kembali menyarungkan pedangnya dan menyusul kakak dan saudara kembarnya di depan.
Ketika kuda Sadamu makin dekat, Akiko dan adik-adiknya sudah bersembunyi di bawah pohon ek seperti yang sudah direncanakan, sementara Higen berjaga diatasnya sambil terus memasang kuda-kuda. Si kembar mengapit Akiko sembari menggenggam sarung pedang di pinggang masing-masing. Di hadapan Higen, berdirilah sosok beringas Sadamu yang siap mencincang siapapun penghalangnya dari Akiko, Rui dan Daiichi. Dari jarak pandang Akiko, bayangan tubuh Sadamu tampak seribu kali lebih tinggi, siap menerkam Higen dengan pedang di genggaman tangannya. Bayangan kedua sosok itu semakin jelas, sejelas nyala api yang membakar habis rumah mereka di tengah turunnya salju.
“Sebutkan namamu, wahai anak muda!” seru Sadamu sambil memandang rendah Higen.
Tanpa takut, Higen menyembutkan identitasnya. “Aku, Higen Toyama dari Nara, putra dari Hisao Toyama, dan abdi setia Tuan Sadayoshi Kitano!” Suaranya begitu lantang, bahkan Sadamu enggan mengakui bahwa ia sedikit terkesan oleh bocah ingusan di hadapannya ini.
“Abdi setia, katamu? Sayang sekali, padahal kau terlalu suci untuk hidup dalam kebohongannya!” ejek Sadamu.
Berang, Higen mengeluarkan pedang dari sarung, ujungnya teracung tepat di depan Sadamu sehingga membuatnya terkejut melihat kemampuan Higen menggunakan pedang. Pantulan cahaya api pada pedang Higen mempertegas betapa lurus pedangnya teracung; jika Higen maju selangkah ke depan, Sadamu bisa saja tertusuk.
“Tuan Kitano selalu melindungi keluarganya!”geramnya.
Di saat yang bersamaan, baik ia maupun Sadamu saling beradu pedang, dilatari kobaran api yang kian membesar dari arah rumah. Ketika pedang mereka bersilangan, Sadamu terus mencoba mengarahkan pedang Higen ke bawah agar ia terjatuh, namun sayangnya karena kuda-kuda Higen cukup kuat menopang kakinya, dengan mudah Higen mengembalikan serangan hingga Sadamu terkilir. Berang dikalahkan pemuda bertubuh setinggi bahunya, Sadamu kembali menyerang. Lagi-lagi, serangannya luput karena gesitnya Higen. Sembari menghindar, diliriknya akar pohon ek dimana Akiko, Rui dan Daiichi bersembunyi. Entah apa yang akan dilakukan Sadamu selanjutnya, ia akan menetap, memenuhi janjinya kepada Sadayoshi untuk menjaga Akiko, Rui dan Daiichi dari cengkeraman Sadamu, walau sampai ia terbunuh sekalipun.
Mencium bau asap dari bawah akar pohon saja, Akiko, Rui dan Daiichi tahu rumah mereka sudah terbakar. Tak lagi sanggup memandangi bayangan, Akiko hanya membiarkan telinganya menjadi saksi pertarungan sengit Higen dan Sadamu seorang diri, sementara kedua adiknya memejamkan mata sambil merapatkan tubuh pada sang kakak.
Tak lama kemudian, sebuah bunyi yang amat ringan, dingin dan singkat mengiris telinga Akiko. Seseorang telah tertusuk, kemudian tubuhnya ambruk. Mata Rui dan Daiichi masih terpejam erat, sementara Akiko hanya dapat memandang kosong hamparan hutan berkabut nan berselimut salju, tak berkedip. Sesaat kemudian desing pedang terdengar lirih dan serak dalam hitungan detik, lalu hutanpun sunyi setelah derap kaki kuda menjauh dari sana. Mendadak, Akiko ingin beranjak keluar, melihat tubuh siapa yang terkapar di atas akar—di atas mereka.
“Kak, jangan!” Daiichi menahannya, matanya membelalak. “Seseorang telah terbunuh!”
“Maka kita harus tahu, Daiichi.”bisik Akiko.
“Kau yakin akan keluar sendirian? Kami ikut!” tambah Rui, sama kuatirnya dengan Daiichi.
“Rui, tinggallah. Aku hanya ingin memastikan kita bertiga sudah aman dari mereka. Kalian jangan kuatir, kita akan pergi bersama Higen setelah aku kembali,ya?”
Lutut Akiko lemas tatkala mendapati jasad Higen terbujur kaku di hadapannya. Tak ada bagian tubuh yang terpisah, jasadnya tengkurap dengan luka tusukan pedang di tengah punggung. Punggung tangan Higen yang disentuh Akiko terasa sama dinginnya dengan salju pada dini hari. Menyadari sang kekasih kini sudah tiada, Akiko memeluk jasad beku Higen erat-erat, menghangatkannya dengan aliran air mata dalam tangis lirihnya.
Rui dan Daiichi keluar dari tempat persembunyian, kemudian berlutut dan membungkuk rendah di hadapan jasad Higen, sebagai tanda terima kasih telah melindugi mereka sebagai abdi, sahabat, dan abang, terlebih Daiichi. Dalam tangis yang tertahan, ia teringat bagaimana Higen dengan sabar mengajarinya menggunakan pedang ketika Sadayoshi, Jirou atau Rui kehilangan kesabaran.
Puas melampiaskan dukanya, Akiko berpaling pada kedua adiknya. “Rui, Daiichi, sebelum kita pergi, kita kubur jenazahnya dulu di sini. Dia adalah orang baik, tanpa baju zirah pun..kita tahu Higen gugur sebagai samurai..”ujarnya, berusaha setegar mungkin di hadapan si kembar.
Kemudian, Akiko, Rui dan Daiichi mengeruk salju dan tanah hingga cukup dalam untuk meletakkan Higen di dalamnya, tak peduli betapa dingin udara yang menusuk tubuh mereka hari itu. Ketika pedang Sadamu sudah dicabut dan tubuh Higen sudah dibalik, Akiko membelai wajah teduh yang kini tak akan lagi tersenyum, tertawa atau memandangnya dengan penuh cinta. Wajah Higen begitu dingin dalam kematiannya, setenang salju yang masih turun subuh itu. Selamat tinggal, bisik Akiko lirih, lalu mengangkat jenazah sang kekasih bersama Rui dan Daiichi ke liang kubur yang sudah mereka gali sebelum menimbuninya dengan tanah dan salju.
Sadayoshi, Ozuru, Jirou, Takeda, Reiko dan Takezo berlutut mengelilingi makam Higen, menyampaikan penghormatan terakhir di tengah khusyuknya doa yang dilantunkan Akiko, Rui dan Daiichi. Takeda, yang sudah menganggap Higen seperti cucunya sendiri menangis lirih sembari memegang pangkal pedang yang tertancap di ujung makam. “Kau pergi terlalu cepat, anak muda….andai aku yang menggantikanmu..”ucap Takeda di sela-sela tangisnya.
“Sudahlah, Paman Takeda. Biarkan Higen beristirahat dengan tenang. Kita harus segera pergi ke Yamagata sebelum mereka tiba lebih dulu.” kata Sadayoshi, memandangi makam Higen lurus-lurus.
Setelah semua selesai berdoa, Sadayoshi dan keluarganya melanjutkan perjalanan dengan kuda, menghapus duka lara yang makin menghantui kala jejak-jejak kaki kuda terbentuk di atas salju. Takeda memimpin barisan, diikuti Jirou, Reiko dengan Takezo dalam dekapannya, Rui, Daiichi, Akiko, dan Ozuru. Di belakang, Sadayoshi masih memandangi sebuah makam sederhana yang berdiri di depan pohon ek, tanpa tempat pemujaan, nisan dan bunga. Hanya sebilah pedang musuh di ujung makam yang memberi isyarat bahwa jasad yang terkubur dibawahnya adalah seorang samurai muda tanpa pangkat, namun jasanya sebagai abdi yang setia melampaui statusnya. Seorang samurai berhati tulus bernama Higen Toyama kini telah beristirahat dengan tenang dengan restu tuannya.
Setelah berada di perjalanan selama dua minggu, akhirnya keluarga Kitano tiba di Yamagata dengan selamat dan mendiami sebuah rumah kosong di kaki gunung. Sesaat, semua merasa lega, kecuali Akiko. Sejak kematian Higen, Akiko jadi lebih pendiam dan pemurung. Hingga saat ini, keluarga Sadayoshi hidup sederhana, berbaur dengan penduduk desa sebagai keluarga ksatria kelas menengah, tanpa pengikut, tanpa martabat. Sampai pada suatu malam, ditulisnya sepucuk surat kepada salah satu teman seperguruan yang kembali muncul setelah dua puluh tahun tanpa kabar.
Wahhhh, udah lama nih ga mampir ke sini. Ratri juga udah berapa lama nih ga nulis? Ceritanya seruuuu, lanjutin donk =)
BalasHapusiya nih udah lama banget, pun sekarang lagi nyicil bikin kumpulan cerpen, Ven, hehe. siiiip, pasti dilanjutin kok :D
Hapus