Jejak-jejak Pentas...



"Kak, Bude tunggu tulisannya, ya, Kak."
"Sip, Bude. nanti kutulis."

Dialog dengan orang yang saya panggil Bude rasanya sudah berlangsung lama, mungkin setahun. Jika sebuah janji belum terpenuhi, rasanya masih ada beban, ya gak sih? Apalagi kalo orangnya udah kenal lama dan udah kayak keluarga sendiri. Makanya, mumpung masih 'anget-angetnya' mending di-post, itung-itung udah lama juga gak ngeblog, hehehe...

Kalau sanggar tari anniversary bikin pentas mungkin udah biasa, ya. Tapi kebayang gak sih, kalau pementasannya 'nyeritain' perjuangan sanggar tari, dan gerakannya berasal dari berbagai macam tari tradisi?
Nah, tanggal 18-19 kemarin, sanggar Dedy Lutan Dance Company mengadakan pementasan tari "Jalan Cintamu Tak Berujung..." di Gedung Kesenian Jakarta. Nggak seperti pementasan-pementasan sebelumnya, JCTB (disingkat begini aja ya biar gampang :p) juga diadakan untuk merayakan ulang tahun DLDC yang ke-23, jadi konsepnya pun dibikin unik, dimana tariannya nggak cuma dikoregraferi satu orang, melainkan tiga, karena mewakili empat unsur budaya yang selama ini mereka pelajari di DLDC: Jawa, Betawi, Melayu dan Kalimantan. Awalnya saya pikir masing-masing budaya ditampilin satu-satu dengan kostum yang beda-beda, ternyata semuanya nyambung, jadinya keren banget.

JCTB dibuka dengan seorang penari pria yang bergerak menggeliat, seolah menggambarkan bayi yang baru lahir, kemudian berjalan ke tengah-tengah penonton. Atmosfir Jawa langsung kerasa dari gerakan dan musik yang digarap Mas Joko Porong, terus musiknya perlahan jadi lebih rancak ketika beberapa penari perempuan masuk panggung dan menarikan beberapa gerakan yang biasa mereka lakukan waktu latihan di padepokan, yaitu tari Melayu dan tari Betawi. Di sela-sela tarian, puisi Jalan Tua karya ayah dibacakan sehingga suasananya jadi agak puitis.

Garapan musik Mas Porong yang ciamik dan menyatu sama gerakan bikin kita serasa diajak jalan-jalan dari satu daerah ke daerah lain, karena ciri-ciri musik dan gerak tari tiap daerah muncul semua di situ. Dari gerakan tari Jawa yang gemulai, gerakan minimalis tari Melayu, dan tari Betawi yang lincah dan komikal, sampai gerakan tari reog dari Jawa Timur yang dibawakan empat penari cowok. Di sini, kita sebagai penonton makin kenal sama karakteristik suatu tari tradisi. Oh iya, pada segmen "perpindahan" dari Betawi ke Jawa, ada bagian dimana beberapa penari cewek dan cowok menampilkan gerakan yang agak gahar, memperlihatkan perjuangan DLDC dalam mempertahankan tari tradisi sampai sekarang (setidaknya dari sudut pandang saya). Puas ngeliat cowok-cowok di atas panggung, kita 'pindah' ke Kalimantan melalui suara sampek (alat musik petik dari Kalimantan).
And, here we are, in the creme de la creme of the show. Let's check the video, shall we? Because it's too epic to be said :')



Pakde Dedy Lutan, begitu beliau biasa saya panggil, menari di tengah-tengah perjuangannya melawan stroke (He's the old man on the chair, btw). Banyak penonton yang terharu, termasuk saya. Ditambah lagi "Bhineka Tunggal Ika" di atas panggung terlihat dari beberapa penari yang kebanyakan adalah anak murid beliau yang udah menghasilkan karya-karya sendiri dan membagi ilmunya ke lebih banyak orang. Di sini kita bisa ngeliat setelah 23 tahun mereka konsisten mencintai budaya negeri, khususnya tari. Walaupun musik dan gerakan banyak juga yang jadi kontemporer, mereka tetap mengutamakan unsur gerak tari tradisi. Anak-anak kecil yang ikut tampil pun seolah menggambarkan merekalah para penerus DLDC nantinya. :'))

Sejak DLDC berdiri, Pakde Dedy dan Bude Elly konsisten berkarya dari hati, dengan kekayaan tradisi Indonesia sebagai sumber inspirasi utamanya. Mereka mengajak kita mencintai budaya negeri lewat tari, sampai ke akar-akarnya. Gimana nggak, sampe sekarang kalau mau bikin karya tari mereka bahkan dateng ke daerahnya langsung, belajar sama pakarnya di sana, kemudian ngajak beberapa penari dan musisi untuk ikut pentas. Nggak heran silaturahmi diantara mereka terjalin erat, bahkan sampai sekarang, karena setiap pementasan meninggalkan jejak membekas bagi mereka yang terlibat langsung maupun nggak langsung. Salut!

All in all, dari semua pementasan DLDC yang saya tonton, selalu ada keberagaman yang disatukan oleh cinta dan rasa kekeluargaan dari semua kru pementasan, mulai dari penari, musisi yang berasal dari jauh sampai staf logistik. Semua sudah menganggap Pakde Dedy dan Bude Elly D. Lutan sebagai guru, orang tua, saudara sekaligus sahabat, bukan hanya pendiri DLDC dan maestro tari. Mereka membiarkan para penarinya berkembang sesuai peminatannya tanpa harus dikekang tradisi, dan senantiasa mendukung mereka, apapun situasinya. Makanya selalu ada suasana haru kala meninggalkan jejak-jejak pentas yang selalu saya kenang, walau selama ini hanya jadi "tim hore" dan "tukang foto behind the scene" :). Semoga jalan cinta DLDC tak akan pernah berujung...

The dancers
Mas Herry Bodhong & Lilang
Mas Joko Porong, the music master
The happy audiences and supporters
The legendary Pakde Dedy Lutan
Yang bikin tambah spesial :')))
"Jalan ini memang sudah terlalu tua
dan kita pun masih setia melewatinya.."
                                      -"Jalan Tua" by Yanusa Nugroho

Regards, Ratri

3 komentar:

  1. baru aja mau bilang pentasnya seru tapi udah diduluin sama bang shakti:| aih. tapi beneran seru kak :D

    BalasHapus

Komentar boleh, nyampah gak jelas jangan ya :D