Sepiningsun
dudu suwunging wengi…
(Sepiku bukan
malam yang hampa…)
Jam
sembilan malam mungkin bukan masalah besar bagi raganya puluhan tahun lalu,
ketika dirinya masih mampu menopang letih di sisa hari. Kali ini tubuhnya
terasa berat, entah karena waktu memang merenggut kekuatan raga di usianya yang
mendekati kepala lima atau beban pikiran akan kenyataan yang akan ia hadapi. Maka
tak heran ketika pagar sudah terkunci dan mobil sudah terparkir aman di garasi,
hal pertama yang dilakukannya adalah merebahkan diri di kursi rotan
kesayangannya, singgasana pelepas lelah dari segala kesibukan yang memberi
kedamaian tersendiri ketika duduk di atasnya. Ditemani secangkir kopi, ia
merenung hingga tak menyadari malam semakin larut.
Beberapa
menit sebelum pukul sebelas, suara lembut sang istri mengusik renungannya.
“Ayah
lagi mikirin apa?” tanya perempuan yang sudah bersamanya sejak dua puluh dua
tahun lalu itu.
“Besok,
semuanya tak akan sama lagi.”ujarnya dengan suara berat. Ada kekosongan dalam tatapannya
yang terarah ke foto putra sulung mereka, Agam,
ketika berusia lima tahun. Wajah bulat polos yang dulu sering diciuminya
menjelang tidur itu kini telah menjelma dirinya di masa muda. Mau tak mau, ia
harus menerima kenyataan bahwa besok putranya akan memiliki seorang pendamping
hidup.
Memahami
perasaan sang suami, ibunda Agam menatap foto itu penuh arti. “Bunda paham kok,
Yah. Wajar kalau kita merasa nggak rela Agam akan menikah, tapi bagaimanapun
juga toh kita sudah memberi restu..”
“Ayah
hanya ingin memastikan bahwa pilihan Agam memang tepat, Bun.”
“Maksudnya?”
Diseruputnya
kopi yang sudah mulai dingin. “Mereka kan masih muda, dari tadi Ayah kepikiran
bagaimana kelanjutan hidup mereka nanti setelah menikah, seperti pekerjaan,
bagaimana Agam menafkahi Rani, impian mereka..”
“Ayah
nggak usah khawatir. Agam maupun Rani sudah tahu kok. Kan dari tadi sudah dapat
wejangan saat nyantri dan midodareni, kenapa masih khawatir?”
“Terus
bagaimana kalau mereka belum benar-benar mapan Rani hamil?”
“Ayah
memikirkan berapa banyak cucu kita nanti dari mereka?” Bunda terperanjat.
“Nah,
terutama itu. Kadang lucu sekaligus kuatir juga kalau membayangkan cucu kita
nanti.” Setelah sekian lama mengerutkan dahi, akhirnya ayah Agam tersenyum
kecil. “Memang Bunda kepikiran juga?”
Ibunda
Agam hanya tertawa geli, pandangannya menerawang ke langit-langit.
Dibayangkannya suatu hari nanti dua atau tiga anak dari Agam dan Rani berlarian
di hadapan mereka. Walau masih buram dalam bayangan, ia yakin bahwa mereka akan
sangat menggemaskan. Setidaknya itu yang pernah ia bayangkan walau agaknya
masih jauh dalam angan.
“Lucu
juga ya, kalau kita sudah jadi eyang dalam beberapa tahun ke depan. Belum lagi
kalau nanti Mutia juga nyusul abangnya berumahtangga..”seloroh ibunda Agam.
“Hush,
masih jauh! Mutia kan belum lulus SMA, Bun. Udah kepingin momong cucu ya?”
“Kan
nanti, Ayah.. kita aja nggak nyangka kan Agam berani melamar anak orang,
padahal selama ini yang ada di bayangan kita Agam masih sibuk skripsi..”
“..atau
mungkin merencanakan S2..”
“Kayak
Ayah dulu kan? Inget gak dulu sebelum kita menikah Ayah bilang sama Bunda mau
nerusin sekolah kedokteran?”
“Iya,
aku inget sekarang, Bun. Kalau dulu Ayah jadi nerusin sekolah kedokteran, kita
nggak ada di sini sekarang: rumah layak, anak-anak bisa sekolah sampai selesai,
rumah tangga masih aman, pekerjaan lancar.…kita masih saling mencintai.”
Malam
kian larut; anggrek bulan di taman belakang mulai merekah di bawah sinar
rembulan yang bulat sempurna. Sambil mengingat-ingat berbagai peristiwa yang
telah dilaluinya, ayah Agam tersenyum diam-diam. Ibunda Agam menggenggam
tangannya, sama erat dengan ketika pertama kali kedua tangan itu bergenggaman,
dua puluh empat tahun silam. Kini, keduanya sudah sepenuhnya siap mengantar
buah hati mereka ke mahligai pernikahan dengan doa restu, sebagaimana orang tua
mereka dulu.
Tanpa mereka sadari, Agam memandang kedua orang tuanya dari atas tangga, sembari berharap dirinya dan Rani akan seperti mereka suatu hari.
Dalam keheningan malam, tiga ulas senyum merekah diam-diam dengan indahnya, laksana anggrek bulan di taman belakang.
Dalam keheningan malam, tiga ulas senyum merekah diam-diam dengan indahnya, laksana anggrek bulan di taman belakang.
Suk
yen wus antuk sewindu | Jika kelak telah sewindu
Rasakna
kaya duk panggih | Rasakan seperti pertama bertemu
Sanadyan
ta wus peputra | Meski telah lahir anak-anakmu
Rasakna
kaya duk panggih | Rasakan seperti pertama bertemu
Tumeka
dhaup kencana | Sampai usia emas perkawinanmu
Rasakna
kaya duk panggih | Rasakan seperti pertama bertemu
Diambil dari lagu “Kinanti Larut” oleh Nanang Hape,
dari album “Kinanti Larut”
Ruang tamu dimana lagu ini dinyanyikan pertama kali
1:13 AM
Tulisannya bagus, irii :D
BalasHapushihihi..masih belajar kok ini :p
Hapussederhana tapi nyentuh, kak :)
BalasHapusalhamdulillah, makasih ya :)
Hapusklo udah pernah nikah pasti bakal lebih ngena bacanya, untungnya gw udah he...
BalasHapushehe..gimana gimana? udah kebayangkah? hehehee :p
HapusSIMPLE KAAKKKKK :)) *kangenngepos*
BalasHapus