A Wingman's Confession



Jumat, 14 Desember 2012
Nama gue Panji Sondratama. Selama 21 tahun gue hidup di dunia, udah lumayan banyak peran yang udah gue mainkan: seorang adik, anak, pacar, pecinta musik, blogger random, dan seorang sahabat. Beberapa tahun yang lalu, peran gue nambah lagi dengan menjadi wingman bagi Agam, sahabat kental gue sejak TK. Gue akui, bertahun-tahun jadi wingman telah mengajarkan banyak hal yang membuat kehidupan gue semakin berarti, sehingga gue tumbuh dewasa dan memandang hidup dari kacamata yang lebih jernih dan menyenangkan di saat yang sama. Gak lupa juga gara-gara jadi wingman akhirnya dapet undangan pernikahan pertama yang ditujukan atas nama gue.
Semuanya berawal dari Agam, si kalem berbadan Rambo yang belom pernah sekalipun pacaran akhirnya kepincut sama temen sekelas kami berdua di SMA yang bernama Rani. Secara fisik, Rani nggak beda sama tipikal cewek-cewek di sekolah gue, kecuali seleranya. Bayangin aja, saat cewek-cewek lain lebih suka nongkrong di mal, Rani lebih suka kelayapan di taman-taman kota dan kafe-kafe sepi. Agam yang paling nggak betah sama cewek manja jadi naksir sama Rani karena dia juga mandiri dan nggak keberatan kalo kemana-mana sendirian, karena dia jago kendo. Kalo cewek-cewek lain lebih seneng pake wedges atau ber make-up menor, Rani lebih suka pake sepatu Converse dan nggak dandan sama sekali waktu SMA. Posisi duduk Agam dan Rani nggak pernah jauh, entah depan-depanan atau malah sebelahan. Walaupun udah sekelas pas kelas X, mereka baru ngobrol menjelang kelas XI, beberapa hari sebelum masuk sekolah.

Juli 2008
Jari telujuk Agam menelusuri sebuah nama di atas kertas yang tertempel di depan pintu kelas. Bukan namanya sendiri yang ia telusuri, melainkan serangkai huruf berbentuk “Respati Maharani”, sebuah nama yang telah memikat hatinya pelan-pelan sejak tahun lalu. Tanpa sadar, Agam tersenyum lebar dan bergumam, “Yess…sekelas lagi!”
“Sekelas lagi bro?”ujar Panji, kehadirannya luput dari perhatian Agam. Yang ditanya malah balik badan dan menyambutnya dengan senyuman janggal.
“Yoi, Ji, sama lo juga.”ujar Agam, kalem seperti biasanya.
“Maksud lo sama gue juga apaan Gam? Kan kita emang sekelas terus dari TK!” kata Panji bingung. Diamatinya raut sang sahabat yang tidak biasa dilihatnya selama mereka bersahabat.
“Maksud gue, kita sekelas lagi sama Rani, absennya pas di bawah nama lo,haha!”balas Agam santai, lalu berjalan ke kantin.
“Lah emang ada apaan antara lo sama Rani?” Panji masih penasaran dengan raut misterius Agam. Belum sempat Agam menjawab, sosok Rani muncul di hadapan mereka dengan kaos berlengan ¾ berwarna putih dan biru tua yang dipadu skinny jeans dan sepatu Converse putih. Rambut hitam bergelombang sebahu tersampir di bahu kanannya, sepasang mata di balik kacamata minusnya jelas memandang Agam, agak tersipu.
“Hai Ran,”sapa Agam, menyimpan kegugupannya di hadapan Rani.
“Hai Gam, Ji, baru liat daftar kelas?” tanya Rani datar.
“Iya nih, kita sekelas lagi lho, bareng Jalu, Icut, sama Malya juga.”kata Agam. Merasa diabaikan, Panji menyikut rusuk Agam.
“Oh gitu, gue cabut duluan ya, udah ditunggu bokap soalnya. Daah..”ujar Rani lagi, kemudian pergi menuju lapangan parkir. Melihat sosok mungil itu menjauh, Agam terus memandangnya hingga mulutnya setengah menganga. Tepukan Panji di perut Agam membuatnya tersadar akan tujuan awal mereka: kantin.
Di mata Panji, selama kelas X Rani bukanlah murid yang menonjol, malah cenderung ‘terasing’ dan tertutup dibanding teman-teman perempuan di kelasnya dulu. Tapi kenapa tiba-tiba Agam sumringah begitu tahu dirinya sekelas dengan Rani? Rasanya Agam tidak pernah cerita..
***
Saat itu gue berasa jadi kambing congek numpang makan rumput di dunia mereka berdua yang singkat itu. Tapi siapa sangka, sejak saat itu tanpa harus dikasih tau sekalipun gue tau Agam udah kepincut sama Rani, bahkan setelah beberapa kali dijadiin ceng-cengan sama beberapa cewek di kelas, yang lebih cantik,pintar dan populer dari Rani. Yah, memang di kelas XI dan XII anak-anaknya paling rusuh tapi kompak sehingga sampe sekarang pun udah kayak keluarga sendiri.
Selama di kelas, gue dan beberapa temen yang duduk di dekat Agam dan Rani merhatiin kalau-kalau ada sesuatu terjadi di antara mereka berdua. Kadang kalo dua-duanya belum datang atau nggak masuk, kami jadi “tim rumpi special Agam-Rani”. “Tim rumpi” ini terdiri dari gue, Jalu, Rama, Desta, Icut dan Ghea, yang sayangnya udah jarang ngumpul karena kesibukan masing-masing. Masing-masing dari kami punya tugas khusus: Jalu, yang duduknya tepat di belakang Rani bertugas merhatiin gesture Rani; Rama merhatiin gesture Agam—karena posisi duduk tepat di samping Agam; Icut bertugas sebagai informan dari Rani karena Icut adalah salah satu teman akrab Rani di kelas; Desta yang suka iseng motret bertugas candid momen kapanpun Agam dan Rani ke-gap berduaan, dan Ghea bertugas memantau situasi kelas kalau-kalau ada orang lain yang lagi dekat sama mereka berdua. Gue? Gak ada kerjaan, haha..


2009
Sudah dua minggu Rani tidak masuk sekolah tanpa kabar. Awalnya Rani izin pulang kampung karena ada acara keluarga selama empat hari, namun setelahnya tak ada kabar lagi. Ketidakhadiran Rani di kelas rupanya membuat Agam kesepian beberapa hari terakhir walau dia terlihat menikmati hari-harinya seperti biasa. Ketika bel istirahat berbunyi, Agam memanggil Icut dan Ghea, memberanikan diri untuk menanyakan kabar terakhir Rani.
“Cut!” panggil Agam ketika Icut melintas di depannya bersama Ghea. Icut menoleh, memandang Agam penuh tanya, begitupun Ghea.
“Ada apa Gam?”tanya Icut.
“Mmm…tunggu anak-anak keluar semua ya..”gumam Agam.
“Yah ilah, lo ngomong ngomong aja kali Gam, ada apaan sih? Penasaran gue..”ujar Ghea, menduduki meja Rani yang kosong.
Setelah semua anak keluar kelas, barulah Agam bertanya pada kedua perempuan yang selalu terlihat bersama ini.
“Rani kemana? Kok nggak ada kabar dari kemaren?”tanya Agam. Icut dan Ghea saling pandang, menahan senyum kenes seolah telah menduga Agam akan menanyakan Rani.
“Oooh, Rani lagi sakit tipus Gam, kasian deh badannya tambah cungkring pas terakhir kita jenguk, ya kan Ghe?”
“Iya Gam, udah berhari-hari lho dia dirawat di RS. Pas lo nggak masuk kemaren kita pada jenguk ke sana.”kata Ghea.
“Masa? Dirawat dimana Ghe? Kok gue baru tau?”Agam mulai panik.
“Di RSPI, dia masih dirawat sampe Minggu besok. Mumpung masih dirawat lo jenguk aja, soalnya tinggal lo doang yang belum jenguk.”kata Ghea.
“Kok tumben nanyain? Mau ngegebet Rani ya? Cieeee…”imbuh Icut. Agam langsung salah tingkah Icut membuka kartunya yang selama ini tertutup aman.
“Demi apa Cut, Agam naksir sama Rani? Cieee Agam cieeeeeee…udah gebet aja Gam, mumpung Rani masih jomblo! Hahaha! Eh, kita cabut dulu yaa!”tambah Ghea sambil menarik Icut keluar kelas, tentunya sambil cekikikan geli.
Di kantin, Panji, Jalu, Desta dan Rama sedang menyantap mie yamin ketika Icut dan Ghea menghampiri mereka dengan wajah sumringah.
“Kok baru nongol? Kita baru ngebahas si Agam kemaren kegep nulis di wall facebook-ya Rani.”kata Jalu sambil menenggak teh botol.
“Kita baru dapet kabar terbaru dari Agam, ini penting banget!” kata Ghea sambil merebahkan tubuhnya di sebelah Jalu.
“Guys, lo harus tau tadi si Agam nanyain kenapa si Rani gak ada kabar, terus jadi panic gitu pas dikasih tau Rani kena tipus, hahaha!” kata Icut.
“Masa? Terus gimana lanjutannya?”tanya Desta.
“Tadi sih langsung  ditembak sama Icut kalo dia ada feeling sama Rani, terus dia salting gitu pas kita cie-ciein, hihihiiii…”kata Ghea.
“Tuh kan bener dugaan gue selama ini, sahabat lo tuh naksir sama Rani, Ji! Nanti pas pulang atau abis solat lo tanyain ke Agam bener nggaknya! Kalo sama gue atau anak-anak mah dia nggak bakalan buka mulut!” kata Rama.
“Iya Ji, terus kalo diliat dari gesturnya Rani pas kemaren kita jenguk dia nyariin Agam, ya kan? Nah, kalo menurut gue si Rani juga ada feeling sama Agam.” kata Jalu.
Panji tersenyum puas mendapat fakta baru tentang si sahabat dan gadis yang (diduga) mencuri hatinya. “Hmmm oke..berhubung “penyelidikan” kita udah kelar, mulai pulang sekolah lo-lo pada udah gue bebastugaskan, soalnya kita udah dapet kesimpulannya kalo dua orang ini saling suka. Sekarang giliran gue bertugas ngebuat mereka jadian, karena lo harus tau walopun sterek begitu Agam pemalu dan sensitif banget.” Ujarnya. Di dalam kepalanya, sudah tersusun serangkaian rencana untuk mewujudkan keinginan Agam untuk memiliki Rani.
“Tapi kita masih terima update terbaru dari lo kan Ji?” tanya Rama.
Only if they’re official. Selama itu belum terjadi, lo semua harus sabar nungguin, oke?” tegas Panji. Panji tak mau sahabatnya gagal menggaet Rani hanya gara-gara rumor yang nantinya akan tersebar ke seluruh kelas. Bagaimanapun, dia tahu karakter kelima temannya ini hampir sama ‘bocor’nya dengan teman-teman mereka yang lain. Kelima temannya terdiam mendengar perkataan Panji yang mendadak dingin.
“Oke. They’re all yours, boss. Tapi jangan lupa traktir di Pertok buat PJ kita, hahaha!”celetuk Desta. Panji hanya tersenyum kecil, kemudian pergi menuju kelas.
***
Singkat cerita, gue inget hari itu Agam sampe ngerayu bundanya buat mampir dulu ke Carrefour beli buah lalu ke RSPI buat ngejenguk Rani bareng gue. Dibandingkan sehari sebelumnya, Rani kelihatan lebih seger waktu ketemu Agam, bahkan bela-belain bangun dari tempat tidur buat salim sama bundanya Agam (konon malemnya bundanya Agam cerita ke nyokap gue bahwa beliau udah nemu calon mantu, padahal umur masih 17 tahun, nah!). Sejak hari itu, gue menawarkan diri untuk menjadi wingmannya Agam buat deketin Rani, alhamdulillah dia setuju. Gara-gara gue jadi wingman, nggak ada yang tau proses pdkt mereka karena semua di-cover sama gue, hahaha…
Selama gue bertugas jadi wingman, salah satunya adalah sering ngajakin Rani ngobrol, karena gue jauh lebih gak tau diri dan pecicilan dari Agam. Bayangin aja, Agam bahkan nggak berani minta nomernya Rani, padahal udah gue kasih deadline dengan ancaman mogok ngomong dan gak mau dengerin curcolannya selama seminggu. Tapi akhirnya karena gue paham Agam baru pertama kali jatuh cinta hal itu nggak terjadi dan membiarkan dia pedekate ke Rani dengan caranya sendiri. Yah, segencar-gencarnya gue nyuruh Agam kan tugas utama gue ngebantu dia, bukan ngatur ini-itu.
Yang lucu, di kelas gue dan Rani malah digosipin lagi pedekate, sementara Agam dikira nggak ada hubungan apa-apa,haha! Ternyata setelah gue kenal Rani, gue memang jadi deket sama dia karena anaknya asik, gak repot, masih jomblo, pokoknya sesuai sama selera Agam. Beberapa bulan kemudian, barulah gue tau kalo perasaan Agam nggak bertepuk sebelah tangan. Waktu Agam tau, girangnya nggak ketulungan. Langsung deh kita berdua ngerencanain penembakan Agam ke Rani, tapi sayangnya gara-gara satu dan lain hal, rencananya gagal…
sampai suatu hari, ketika kami pulang study tour dari Banyuwangi.

Agustus 2009
Sore itu, bus pariwisata yang membawa murid-murid kelas XII pulang dari Banyuwangi baru sampai di Yogyakarta. Memandangi suasana senja pantai Parangtritis dari kejauhan, Agam teringat bagaimana ia dan teman-temannya menghabiskan senja dan malam terakhir di Banyuwangi dengan menonton gandrung di tepi pantai Grajagan. Rani juga ada di sana, bahkan dia dan beberapa siswi lain diajak menari bersama para penari gandrung. Mengitari api unggun, tubuh mungil Rani melenggok lincah mengikuti gerakan tari gandrung dengan selendang merah tersampir di lehernya hingga Agam terpesona menangkap Rani dalam bidikan lensanya. Ketika tiba saatnya menyerahkan selendang, Rani mengalungkan selendang itu di leher Agam, disertai senyum kenes yang menampilkan lesung pipi di wajah Rani. Diam-diam, Agam tersenyum sendiri mengingatnya, walau akhirnya selendang itu dikembalikan kepada pemiliknya.
Samar-samar, lagu “Impen-Impenan” terngiang di telinganya sejak semalam. ‘Lagu kebangsaan’ rakyat Banyuwangi yang menceritakan seseorang yang ingin dikasihi pujaan hati, namun sayangnya hanya sebatas angan menyayat sanubari Agam seolah itulah yang akan ia alami jika dirinya tidak cukup berani utuk mengungkapkan perasaannya pada Rani.
Dipandangnya Rani sedang duduk seorang diri setelah mengobrol dengan Icut, entah tentang apa. Mungkin sudah tiba saatnya bagi Agam untuk mengutarakan perasaannya kepada Rani setelah sekian lama mendekatinya. Hampir semua siswa dan guru yang berada di bus terlelap, ‘membunuh’ kebosanan akan perjalanan panjang menuju Jakarta. Kesunyian yang bergerak melintasi panorama senja di Parangtritis seoalh memberi Agam kesempatan untuk melangkah ke tempat duduk Rani dan mengabadikan momen berdua bersamanya.
Seolah membaca batin Agam, Panji menepuk bahu dan menatapnya penuh arti, kemudian berkata, “Ini kesempatan terakhir lo Gam. Kalo elo nervous, yakinin diri lo bahwa Rani memang tercipta buat lo sebagaimana diri lo buat dia.”
“Thanks, bro. Doain gue ya!” Agam bangkit dari kursinya dengan tubuh gemetar, kemudian duduk di sebelah Rani, yang tengah memandang barisan pepohonan di bawah langit yang menggelap.
“Ran?”panggil Agam lembut. Rani menoleh, tersenyum lembut padanya. Sekarang Agam kebingungan kalimat apa yang seharusnya cukup layak keluar dari bibirnya untuk menerjemahkan perasaannya.
“Gue mau cerita nih..untuk pertama kalinya gue jatuh cinta sama temen sekelas gue sendiri.” Akhirnya kata-kata itu yang lolos seleksi untuk diungkapkan kepada Rani.
Jantung Rani berdegup lebih cepat dari biasanya. Matanya berbinar-binar memandang mata sayu Agam di balik lensa kacamatanya.“Oh ya? Siapa?”
“Respati Maharani.” Nama itu mengalir lancar dalam satu tarikan nafas, diucapkan dengan penuh arti hingga Rani tertegun.
“Kok sama sih?” Rani kehabisan kata-kata.
“Lo jatuh cinta sama diri lo sendiri Ran?”tanya Agam polos. Duh! Goblok bener guaaa!!batin Agam saat menyadari ucapannya barusan. Rani tertawa renyah. Di belakangnya, Panji menepuk jidatnya sambil menahan tawa.
“Bukan..gue jatuh cinta sama Agam Danadyaksa.” Rani tersipu sambil menghindari pandangannya dari Agam.
“Jadi..” Agam pun mengalihkan pandangan, namun diam-diam masih melirik Rani dan raut wajahnya yang susah sekali ditebak antara senang atau malu-malu. Aku ingin kamu jadi pendampingku. Kini, atau mungkin nanti.
“Ya.” Rani mengangguk pelan, seolah mengerti maksud Agam.
“Yaudah, resmi nih kita?”
Rani menjawabnya dengan memberinya senyuman termanis dan jemari yang menggenggam erat tangannya. Agam pun tersenyum lega, dan dua sejoli yang baru saja merajut cinta tetap bersitatap sepanjang perjalanan pulang.
Untung saja keadaaan di bus sedang sepi karena belum ada yang bangun selain mereka bertiga, jadi tanpa bergerak sedikitpun dari tempat duduknya Panji mengetahui impian sang sahabat tercapai. Diacungkannya kedua tangan ke udara sambil bersorak tanpa suara. Kemudian dihampirinya dua sejoli yang berhasil ia persatukan, tapi sayangnya saat itu bus berbelok cukup tajam sehingga Panji terjatuh di lantai bus dan membangunkan beberapa orang. Terlebih Agam, Rani dan Panji berusaha keras menahan tawa atas peristiwa barusan.
“Untung gak ada yang ngeh..kalo iya satu bus disorakin tuh, hahaha..”ujar Panji.
“Lagian elu pake nyamperin kita segala sih Ji..haha! thanks ya, udah jadi wingman gue. Ga paham lagi deh kalo ga ada lo bakal kayak apa.”kata Agam, tulus.
“Oooh pantesan kemaren-kemaren lo ngajakin gue ngobrol melulu soal Agam, ternyata elo bantuin dia selama ini. Makasih yah Ji..”tambah Rani, sama tulusnya dengan Agam. Panji hanya garuk-garuk kepala dipuji demikian.
“Iya, sama-sama. Eh Gam, lo lupa satu hal penting tuh!”
“Apaan?”
“Minta nomernya Rani!” celetuk Panji sengit, kemudian kembali ke tempat duduknya.
Agam dan Rani bersitatap menahan geli. Sisa perjalanan itu membuat mereka berdua—dan Panji—tetap terjaga hingga tiba di Jakarta, begitupun rahasia kecil mereka.
Sejak Agam dan Rani jadian, sekelas jadi geger karena nggak pernah nyangka dua anak ini bakal pacaran. Sementara gue dan tim rumpi anteng-anteng aja karena gue kasih tau via BBM sehari setelah pulang dari Banyuwangi. Kalo inget hari itu jari gue sampe pegel ngetik melulu gara-gara menjawab pertanyaan bertubi-tubi dari mereka. Mulai dari pertanyaan ‘gimana ceritanya’ sampe ‘abis resmi jadian mereka ngapain aja berduaan?’. Di sekolah, Agam dan Rani sampe disuruh cerita di depan kelas tentang proses jadian mereka sampe bosen.
 Kehidupan sekolah jadi menyenangkan, tapi lebih menyenangkan bagi gue karena mereka sama sekali nggak berubah jadi pasangan yang kerjaannya PDA (public display affection) melulu di sekolah. Adem sekaligus mupeng rasanya kalo liat mereka berdua pacaran, karena ajaibnya mereka jarang berantem dan tetep mesra walaupun jarak ke rumah masing-masing jauhnya gak kira-kira. Seakan nggak terpengaruh sama gaya hidup remaja perkotaan, ada satu kebiasaan unik kalo mereka mau berpisah: colek idung! (hmmm kalo ini agak-agak niru “Kuch-Kuch Hota Hai” ya, haha). Kalo lagi males colek-colekan idung, biasanya mereka salim. Kebiasaan itupun terus berlanjut sampe bertahun-tahun kemudian..sampe hari ini. Dulu sempet kepikir, apa ini ‘pertanda’ kalo Agam dan Rani beneran jodoh? Semoga.
Tetapi, selancar-lancarnya hubungan pasti ada kendalanya. Kalo biasanya malem minggu pasti jalan bareng atau main ke rumah masing-masing, diluar waktu sekolah Agam dan Rani malah jarang karena jarak rumah mereka nggak kira-kira jauhnya (Agam di BSD sementara Rani di Depok). Hal itu tentu aneh di mata gue dan teman-teman lain, bahkan berkali-kali mereka ribut gara-gara hal yang sama. Gue sebagai perantara kedua belah pihak berusaha sebaik mungkin mendamaikan Agam dan Rani dengan mengajak mereka berdua ngobrol bertiga di depan green house sepulang sekolah. Green house jadi tempat favorit kita bertiga—atau berdua, baik gue-Agam maupun Agam-Rani—untuk ngobrol dari hati ke hati, karena lokasinya kayak rooftop sekolah-sekolah Jepang dan bisa ngasih ketenangan tersendiri tiap kali berada di sana. Satu hal yang paling bikin salut, mereka nggak pernah marahan lebih dari dua hari dan (seingat gue) nggak pernah berantem di depan umum baik maupun ruang pribadi karena semua masalah diselesaikan dengan kepala dingin.
Maret 2010
Sabtu pagi, Rani memberitahu Agam bahwa akan ada acara ulang tahun pernikahan orang tua Rani di rumahnya dan meminta Agam datang. Pasalnya, orang tua dan keluarga besar Rani sudah ingin bertemu Agam pada hari itu. Awalnya Agam menyanggupi karena pada akhir pekan dirinya memang tidak ada acara, namun akhirnya ia tidak jadi datang karena jaraknya sangat jauh dan tidak ada kendaraan ke sana. Alasan itu membuat Rani kecewa hingga saat ini karena Agam yang selama ini cukup gentleman terhadap dirinya bersikap sangat kekanak-kanakan, sementara Agam kesal karena Rani bersikap egois dan terkesan terburu-buru, padahal keduanya belum lama pacaran.
Malam itu, kantuk dan lelah menghentikan pertengkaran mereka untuk sementara. Sejak tadi pagi, keduanya tidak saling bicara dan berusaha keras menutupi ketegangan di antara mereka. tak ada yang menyadari, kecuali Panji. Melihat ketegangan antara kedua sahabatnya, menjelang usai pemantapan ia mengirim BBM kepada Agam dan Rani.
“Green House. 4.00 pm. Solve the problem.”
Cerahnya matahari sore di hari Senin rupanya tak membuat raut wajah Agam dan Rani melembut sejak tadi pagi. Jangankan berkata, bertatapan saja tidak. Jarak antara mereka berdua cukup renggang untuk Panji sadari betapa serius permasalahan yang mereka hadapi—sebuah cerita lama yang tak kunjung mendapatkan jalan keluar. Dia tak ada di sana, sebaliknya ia memantau situasi Agam dan Rani dari lantai tiga.
“Jujur aja, gue kecewa banget karena lo nggak jadi datang, padahal awalnya lo setuju-setuju aja. Asal lo tau Gam, kemaren gue sampe eneg ditanyain keberadaan lo sama keluarga besar. Kenapa sih jarak selalu jadi kendala terbesar buat lo?” kata Rani ketus, namun tetap tenang.
“Kan udah gue bilang berkali-kali, kendaraan dari rumah gue ke rumah lo tuh susah dan gue nggak hafal jalan, that’s it! Okelah kalo gue dateng nyetir sendiri, tapi daripada gue bermahal-mahal naik taksi atau dianterin bokap sampe depan rumah lo, mau ditaro mana harga diri gue di hadapan keluarga lo?” Agam tak kalah gusar sambil mendekatkan diri ke hadapan Rani.
“Kenapa nggak bilang dari awal? Tau gitu kan gue bisa ngertiin alesan lo nggak dateng ke rumah kemaren..”
“Karena gue nggak enak nolak, tapi mau gimana lagi? Kan ketemunya bisa kapan-kapan..”
“Iya aku tau..tapi gimanapun juga selama masih saling sayang, jarak seharusnya bukan penghalang.” Kata Rani kecut, menundukkan kepalanya. Agam kehabisan kata-kata untuk membalasnya. Ponselnya bergetar tanda ada BBM dari Panji.
“udeh lu jangan gengsian lagi ah. Kalo lo sayang beneran sama Rani, minta maaf aja cukup kok.”
Agam tersenyum tipis sambil memandangi layar ponselnya, kemudian memasukkannya ke saku celana. Digenggamnya tangan mungil Rani, mata bundarnya memandang lembut sang kekasih di hadapannya.“Rani, aku minta maaf ya udah gak nepatin janji dating ke rumahmu. Jangan judes lagi dong..please?” bujuk Agam.
Rani balas menatap Agam. Ekspresi wajahnya melembut, lalu berkata, “Asal habis ini traktir es krim aku maafin kok, hehe.”
“Yeuuuuh nggak tulus!”
“Iiiiih kan cuma becanda!”
Seiring keduanya berjalan meninggalkan green house, Panji pergi dan bergabung dengan Agam dan Rani untuk menikmati sore yang indah itu dengan memakan es krim bertiga di PIM. Walau sesekali Panji agak risih karena sering menjadi “nyamuk” saat mereka sedang bersama-sama, Agam dan Rani sama sekali tidak terganggu dengan keberadaan dirinya Bagaimanapun, jadiannya Agam dan Rani toh berkat bantuan Panji.
Lulus SMA, Agam dan Rani masih pacaran, dan keduanya masih sahabat baik gue. Gak kayak pasangan-pasangan lainnya yang kebanyakan kandas di tengah jalan (padahal jadiannya lebih lama—dan PDA— dari Agam dan Rani), mereka masih aja adem ayem. Sempet pangling ketika Rani bertransformasi menjadi hijaber, tapi itu yang bikin mereka berdua makin mesra tanpa harus gembar-gembor. Sesekali kita bertiga suka nongkrong bareng dan gue masih jadi wingman-nya Agam, tetapi berhubung hubungan mereka berdua harmonis banget rasanya peran gue nggak terlalu berarti lagi. Udah gitu, karena gue masih jomblo mereka berdua getol banget ngenalin gue ke temen-temen cewek di kampus mereka masing-masing, cuma sayangnya nggak ada yang cocok. Sejak gue terakhir pacaran kelas 2 SMP, gue jadi pesimis kalo mau deketin cewek, karena gue udah berkali-kali jadi korban friendzone, atau kalo lebih “potensial” dikit “abang-adek”an.
Beberapa bulan yang lalu, pandangan gue tentang cinta berubah, karena tanpa diduga-duga seorang perantau cantik dari Lombok bernama Aruni bikin gue melepaskan belenggu trauma akan “friendzone” dan kami pun jadian. Selain satu kelas sama gue di kampus, rupanya Aruni masih sepupuan sama Agam dan temen masa kecilnya Rani. Entah dunia yang memang sempit atau pergaulan kita yang luas, semuanya dipertemukan dengan cara tak terduga. Ajaib emang, begitu udah diketemuin hidup gue lebih berwarna dan bermakna, semua gara-gara lovebirds yang satu ini.
Meski jarang dibutuhin, Agam cerita sama gue kalo dia udah dikenalin ke keluarga besarnya Rani dan jadi temenan akrab sama Bian, adiknya Rani karena bedanya cuma setahun dan interest mereka sama: Call of Duty! Ibu, om-tante dan eyangnya Rani juga welcome banget sama Agam dan selalu disuguhin makanan bejubel tiap kali dating ke acara keluarga. Ayahnya Rani apalagi, beliau seneng banget kalo Agam ke rumah, padahal tipe ayahnya Rani termasuk kategori ‘ditakuti’ karena penampilannya kayak dedengkot Black Sabbath, hahaha.
*dalam hati mikir, si Agam ngasih apaan ya buat deketin bokapnya Rani? Takjub men!*
Tetapi, walau Rani udah kenal sama keluarganya Agam, ayahnya Agam nggak se-welcome bundanya dan Mutia, adik perempuan Agam yang masih SMA. Beliau –walaupun orangnya ramah—cenderung keras ke Agam, berhubung dia anak sulung dan cowok satu-satunya, apalagi kalo ngomongin masa depan dan keluarga dimana Agam hanya boleh ngenalin cewek ke keluarganya kalo udah beneran mau menikah, dan Agam baru dibolehin menikah kalo udah lulus S2 dan kedua belah pihak udah mapan. Berat ya? Makanya Agam jadi agak ragu untuk ngenalin Rani ke keluarga besarnya, apalagi minta restu untuk menikahi Rani ketika hubungan mereka udah mulai serius.
Juli 2011
“Ji, gue bingung nih. Kakek-nenek sama om-tante gue udah nanyain kapan si Rani mau dikenalin, tapi gue masih ragu..”cerita Agam pada Panji ketika keduanya sedang bersantai di ruang tamu rumah Panji yang mungil, hangat dan nyaman.
“Soal bokap lo?”tebak Panji. Ia tahu betul selama Agam dan Rani berpacaran, ayah Agam cenderung apatis jika putra sulungnya membicarakan Rani. Agam mengangguk. “Mungkin bokap lo nganggep masa depan lo masih panjang, belum cukup umur sama urusan beginian. Emang lo udah mau serius sama Rani?”
“Iya Ji. Apalagi ngeliat Rani sekarang, kalo kelamaan pacaran ntar dosa terus yang nimbun, hahaha.”celetuk Agam, setengah bercanda.
“Lo mau married sekalian ama Rani?!” Panji terperanjat, disambut anggukan Agam. Jantung Panji serasa lenyap bagai ninja dari tubuhnya mendengar pernyataan Agam barusan.
“Yep. Tapi nikahnya nanti, kalo udah lulus.” ujar Agam kalem. Matanya berbinar-binar,menerawang; membayangkan Rani sebagai pengantinnya suatu hari.
“Ah parah nih, gue masih baru jadian lo udah curi start mau married! Kan kita udah janji selalu bersama Gam, sekolah bareng, nginep bareng, bikin proyek bareng, lulus kuliah bareng, kalo mau nikah ya bareng-bareng juga lah!” Masih tak percaya akan kata-kata Agam, tanpa sadar Panji mengatakannya dengan volume cukup keras. Ternyata ada untungnya juga orang tua dan kakaknya tidak berada di rumah saat ini.
“Bareng-bareng pala lu! Nikah ya masing-masing Ji, lu kira double date bisa barengan!”
“Kalo calon pendamping kita maunya barengan?”
“Ngaco!”
“Heeeeh apun bisa kejadian kali, Gam. Tapi..serius lo..Elo kan baru sekali pacaran, yakin dia yang bakal jadi teman hidup lo?”
Agam terdiam, memandang sahabatnya lurus-lurus. “Dari caranya memperlakukan gue juga udah kelihatan, Panji Sondratama. Makanya salah satu langkah awal buat ngebuktiin gue mau serius ya dengan ngenalin dia ke keluarga besar gue, cuma bingung gimana bikin bokap gue setuju.”katanya, binar matanya yang tadi berapi-api kini agak meredup di balik nada tegas yang ditujukan kepada Panji.
“Mau gue bantu Gam? Gue punya ide.”
Cinnamon Café PIM, malam harinya
Dari jauh, pasangan ayah dan anak ini terlihat normal: si ayah dengan kemeja, celana bahan dan sepatu moccasin berwarna tan berhadapan dengan si anak yang mengenakan kemeja kotak-kotak biru, jins dan sepatu keds. Dua gelas cappuccino dan cinnamon rolls masih tersisa di atas meja karena saat itu Agam hendak membuka pembicaraan dengan sang ayah.
“Ayah, minggu depan ada acara di rumah Kakek kan?”tanya Agam.
“Iya nak, kenapa?” ujar ayahnya singkat sambil menusukkan garpu di cinnamon rolls nya.
“Aku sama Rani kan udah cukup lama pacaran, boleh gak aku kenalin pas kita ke rumah Kakek?”
 Ayah Agam terdiam, setengah kaget mendengar kata-kata putranya. “Agam, jalan kalian masih panjang. Lulus kuliah juga belum, udah mau ngenalin Rani seolah mau menikah beberapa bulan lagi. Sekarang Ayah tanya; emang kalian udah ada niat untuk serius?”
“Udah, Rani udah ngenalin aku ke keluarga besarnya, masa aku nggak ngelakuin hal yang sama? Kan jadinya nggak seimbang. Masa ceweknya yang maju duluan terus? Gengsiku sebagai cowok bakalan turun Yah kalo gini caranya..”kilah Agam.
“Gam, yang Ayah masalahin bukan martabat kamu atau dia soal dikenalin ke keluarga besar, tapi kamu udah bener-bener mau serius sama Rani? Ayah hanya mau kamu ngenalin Rani—atau siapapun calon istri kamu nanti kalo kalian udah siap lahir batin.” ujar ayahnya tegas, kemudian menyeruput cappuccino yang sudah mulai dingin.
“Iya, Yah, aku ngerti banget soal itu. Tapi dengan ngenalin Rani ke keluarga besar aku bisa tunjukkin ke Ayah dan Bunda kalo hubungan ini nggak main-main.”tegas Agam, tak kalah sengit dari sang ayah walaupun keringat dingin mengucur deras di pelipis keningnya.
Ayah Agam meletakkan tangan kanannya di dagu, memandang putranya lurus-lurus. Dihiraukannya ponsel yang berdering nyaring di atas meja kecil, kemudian mengangguk pelan. “Ngenalin perempuan ke keluarga besar kelihatannya mudah, tapi disitulah komitmenmu akan dinilai sama keluarga besar berdasarkan pilihanmu sebagai laki-laki dewasa karena selama kalian masih sama-sama, otomatis secara nggak langsung dia akan jadi bagian dari keluarga kita. Dampak keluarga itu besar lho, apalagi kalo sampe terjadi apa-apa sama kalian berdua. Ayah dan Bunda ingin memastikan kalo perempuan yang mau kamu kenalin ke keluarga besar kita bukan perempuan sembarangan. Think again, kid. Ayah akan senang kalo kamu bisa pegang omonganmu.”
Agam mengangguk, berusaha memahami betul wejangan sang ayah. Walaupun belum ada kepastian atas persetujuan sang ayah, setidaknya Agam lega sudah mengutarakan keinginannya. Namun ada satu pertanyaan lagi yang masih bercokol di kepalanya: “Menurut Ayah, Rani perempuan seperti apa?”
“Ayah sih jujur aja nggak tau Rani persisnya seperti apa, tapi dari cerita-ceritanya Bunda sama waktu liat langsung..dia patut untuk dipertahankan.”ujar ayahnya. Kini perasaan Agam seperti dipenuhi kembang api mendengar pendapat sang ayah tentang Rani yang telah mencakupi semua kriteria perempuan ideal di mata Agam dan ayahnya.
“Bener Yah?” Agam tak bisa menahan senyum lebar yang tersungging manis di bibirnya.
“Asal kamu tau, Ayah selama ini ngamatin lho perubahan kamu waktu belum punya pacar sampe sekarang. Kamu bisa gentleman juga ternyata meski sering dibantuin sama Panji.”ujar ayahnya sambil menyuap potongan terakhir cinnamon rolls. Bersamaan dengan itu, Agam yang hendak menelan cinnamon rolls nya nyaris tersedak karena rahasianya terbongkar oleh sang ayah.
“Kok Ayah tau?”
“Bundamu itu informan terpercaya buat Ayah kalo soal nyelidikin anak-anaknya.”seloroh ayah Agam, kemudian keduanya tertawa lepas dan menikmati sisa hari bersama sebelum pulang ke rumah.
Sejak pertemuan terakhir di rumah waktu itu, gue nggak pernah denger kabar tentang Agam dan Rani selama berbulan-bulan. Gue sempet yakin mereka baik-baik aja sampe suatu hari Agam ngasih tau gue bahwa mereka udah nggak sama-sama lagi. Saat itu, hubungan mereka  diuji karena Agam harus mengurus kuliahnya yang sempat berantakan setelah cuti sakit satu semester sehingga Rani pun jarang dapet kabar dari Agam. Rani juga lagi sibuk sama kepanitiaan di kampusnya sehingga mereka jadi jarang ketemu. Akibatnya, komunikasi antara mereka makin jarang dan susah, mereka jadi sering berantem dan akhirnya putus baik-baik. Gak kebayang gimana  perasaan mereka saat itu; baru diceritain aja gue kayak dipaksa nonton film Shutter berulang-ulang, gimana Agam dan Rani yang udah saling sayang sampe ke ubun-ubun selama dua tahun? Kalo diibaratin samurai ngebelek perut sendiri pasti rasanya lebih sakit lagi.
Jujur, gue sempet sedih denger cerita dibalik putusnya mereka, karena nggak ada angin, nggak ada orang ketiga, tau-tau mereka pisah. Gue nggak bisa membenci Rani karena memang nggak ada yang bisa disalahin atas kejadian ini, tapi gue gak tega ngeliat Agam sesedih itu setelah lima bulan menahan perasaannya, walaupun komunikasi sama Rani masih terus jalan. Di saat yang sama, gue juga gagal sebagai wingman karena nggak bisa ngedampingin Agam di masa susah, apalagi pas cerita gue bisa liat Agam berusaha untuk tetep tegar di depan teman-teman dan keluarganya sejak putus dari Rani, tapi gimanapun juga, Agam masih sayang banget sama Rani, makanya dia tetep kekeuh bahwa mereka memang ditakdirkan bersama.
Aruni, pacar baru gue cerita, selama berhari-hari Rani nangis terus, bahkan setelah diajak marathon film-film koplak macem Kungfu Hustle atau Running Man masih aja galau. Badannya yang dari dulu langsing jadi makin cungkring, tweet-nya galau melulu, dan dia jadi makin tertutup sama orang lain, bahkan ke gue, Aruni atau sahabat-sahabat Rani. Agam lebih ngenes lagi nasibnya: dia harus bersitegang sama ayahnya karena nggak bisa ngenalin Rani seperti yang diharapkan sebelumnya(yes, it didn’t happened, unfortunately), berat badannya turun drastis karena stress, nilai akademiknya anjlok sehingga dia harus mengambil SP (semester pendek) selama libur semester.

Untuk pertama kalinya, selama 16 tahun gue ngeliat seorang Agam Danadyaksa cerita galau sampe nangis kejer (gak kejer juga sih, tapi sampe banjir banget air matanya di kaos gue lantaran gue peluk *unyu*).
Tapi, kesedihan itu nggak berlangsung lama karena Agam memutuskan untuk move on..dengan melamar Rani. Waktu pertama kali dikasih tahu, refleks gue langsung histeris saking kagetnya, sampe Mas Pandu, abang gue jadi kepo nyamperin ke kamar. Abis nggak nyangka si Agam berani memutuskan untuk nikah muda di usia 21 tahun, sama mantannya pula! Kalah sama Mas Pandu yang sampe sekarang masih gonta ganti cewek, padahal udah bisa diblang mapan. Alhasil, rumah yang tadinya sepi mendadak rame sama ide-ide absurd kita bertiga untuk ngelamar Rani, serta plus-minusnya kalo jadi dijabanin. Yang idenya paling banyak tentu aja Mas Pandu, secara dia udah kenyang nyaksiin temen-temennya ngelamar dan dilamar. Yah.. demi another happy ending for our lovebirds’ heartbreak chapter, gue tentu merasa sangat terhormat untuk terlibat didalamnya. Rencananya sederhana: “cinema night” di green house sekolah, temaram lampion, dua gelas cokelat panas, film parodi dan tentunya sebuah cincin perak polos yang Agam simpan di saku belakang.
Walaupun temanya “sederhana”, film yang ditampilin buat Rani spesial banget, karena isinya adalah momen-momen terbaik Agam selama bersama Rani. Tapi bukan gue namanya kalo nggak iseng, makanya film itu dibikin parodi biar Rani terhibur. Berhubung itu proyek semi dadakan dan yang bikin cuma berempat—Agam, gue, Mas Pandu dan Bian—gue  mendaulatkan diri untuk memerankan Rani—ini sampe minjem-minjem kerudung sama baju ala-ala hijabers ke bundanya Agam,biar all out!—sementara Mas Pandu jadi bokapnya Rani dan Bian jadi narrator. Terus biar suasananya makin mendukung, gue dan Agam ngajak tim rumpi (untungnya komplit semua), Aruni, Raras dan si kembar Namira dan Nadira (sahabat-sahabatnya Rani) untuk jadi cameo,hihihi..pokoknya selama proses editing gue dan Mas Pandu gak bisa berhenti ngakak saking kocaknya, sampe berkali-kali disamperin Mama-Papa di kamar. Karena rencana lamaran berlangsung saat libur semester, Agam jadi sering nginep buat memantau proses film sekaligus minta dukungan moral dari gue, terutama waktu mau minta restu ke orang tua masing-masing.
Ngeliat Agam udah semangat empat lima dan 100% yakin akan keputusan besar yang akan dibuatnya, walau nggak disampaikan dengan kata-kata gue ngerasa berutung bisa ikut ngasih restu dan ikut tegang nyaksiin perjuangannya Agam untuk Rani seorang.
Februari 2012
Panji tergolek lemas di rumah karena terserang typhus, tepat pada hari ketika Agam akan melamar Rani sebagaimana yang sudah direncanakan sebelumnya. Malam itu, walaupun dokter menyarankannya untuk segera beristirahat, matanya tak kunjung terpejam. Diliriknya ponsel yang sedari tadi diletakkan di nakas, menunggu kabar gembira dari Agam dan Rani. Andaikan Panji masih segar bugar, saat ini dirinya sedang menyaksikan aksi Agam dari atas bersama Aruni dan teman-teman mereka. Namun saat ini Panji hanya bisa berharap, semoga perjuangan sang sahabat yang diiringi doa restu darinya dan teman-teman mereka tak akan berakhir sia-sia.
Di tengah-tengah renungannya, Pandu masuk ke kamar Panji, kemudian duduk di sampingnya.
“Udah ada kabar dari Agam Dek?”tanya Pandu, brotherly. Tak biasanya si badung yang satu ini segini perhatian sama adiknya sendiri.
“Belum, Mas. Gue juga deg-degan terus nih dari tadi, gak bisa tidur..”balas Panji, lemas. “Mas, ceritanya Agam sama Rani tuh too good to be true ya kalo dikaitin sama situasi sekarang? Kayak dongeng, tapi kejadian.”
Peryataan Panji barusan membuat Pandu terkekeh. “Jangankan mereka, Ji, bahkan elo dan Aruni juga punya. Ketemunya karena sekampus dan sama-sama kenal kan sama Agam dan Rani? Di situlah letak too good to be true elo berdua. Every love story brings you to a new life miracles,bro.”
Jauh di lubuk hatinya, Panji mengamini ucapan sang kakak, sekaligus memutar kembali keajaiban-keajaiban sederhana yang telah menghampiri hidupnya setelah menjadi wingman, termasuk kedekatannya dengan Pandu yang sempat ditenggelamkan oleh kesibukan masing-masing.
“Ko lo mendadak bijak gini sih Mas?”
“Iyalah, gue sampe begah ngeliat orang lamaran, jadi tau cerita dibaliknya kayak gimana. Entah berakhir bahagia atau nggak, yang jelas ada aja miracle-nya. Ada temen gue yang sampe ngebantuin pernikahan mantannya karena masih cinta banget, eh selang beberapa lama dia dapet jodoh, menikah, terus bulan depan dia mau lahiran. Ada juga yang awalnya pengangguran jadi kebanjiran job gara-gara hasil foto pernikahan sahabatnya keren banget waktu dipajang di blognya. Makanya, ada yang bilang kalo dua orang bersatu karena dibantuin, orang yang ngebantuin bakal dapet pahala.” jelas Pandu.
Tak lama kemudian, ponsel Panji berdering. Segera diangkatnya telepon yang ia tunggu-tunggu sejak kemarin malam.
“Ji, ada kabar buat lo!”
“Apaan Gam? Cepetan kasih tau!”
“Rani mau jadi istri gue!”
Tut,tut,tut. Telepon terputus sebelum Panji mengungkapkan rasa sukacitanya kepada Agam karena ada peringatan dari provider. Ah, provider satu ini memang suka memutus pembicaraan seenaknya demi sebuah peringatan, batin Panji kesal. Namun hal itu tidak mengurangi kebahagiaan Panji akan keberhasilan sahabatnya demi mendapatkan cintanya sekali lagi, untuk selamanya.
“Gimana Dek?”tanya Pandu penasaran. Panji menatap abangnya dengan wajah sumringah.
“Teleponnya keputus Mas, tapi..misinya berhasil!”ujar Panji, tak mampu lagi menyembunyikan kebahagiaannya. Perintah istirahat terlupakan sudah; dua kakak beradik ini sekarang sibuk bersorak di sekeliling kamar merayakan keberhasilan Agam. Karena sudah pukul satu malam dan mereka masih saja gaduh, dua orang dengan wajah lusuh karena terbangun dari tidur muncul di depan pintu kamar Panji, terheran-heran mengapa dua jagoan mereka masih terbangun dan loncat-loncatan di kamar.
“Panjiii…kan dokter minta kamu istirahat, kenapa nggak nurut sih?” protes Mama sambil membetulkan posisi roll rambutnya yang mengendur.
“Sudahlah Ma, namanya juga Panji. Arsenal menang liga ya?” Papa mengalihkan pembicaraan, tampak santai.
“Agam mau nikah Pa! Barusan tadi telepon!” kata Panji.
Papa yang tadinya mengantuk sekarang benar-benar terbangun. “Hah?!! Nikah?!! Umur seginih?!”ujarnya terkejut, matanya membelalak.
“Serius Agam mau nikah? Sama si Rani?” Mama lebih kaget lagi, roll rambut yang sedang dipegangnya jatuh seketika ke lantai. Kemudian tatapannya beralih ke putra sulungnya dan berkata, “Yah..Mas Pandu kecolongan lagi deh..”
Sadar dirinya diledek sang ibu, Pandu hanya cengengesan. “Biarin Ma, yang penting happy lamarannya Agam diterima, kan aku juga bantuin mereka!”
“Oooh pantesan si Agam jadi sering ke sini terus rumah suka berisik kalo jam segini, ternyata…tapi gimana ceritanya kok lamaran tengah malem begini?”
“Yakali Ma..ngelamarnya udah, tapi lamaran resminya belom..” kata Panji.
Malam itu, tak seorangpun dari mereka kembali tidur. Sebaliknya, mereka melanjutkan pembicaraan di ruang keluarga sambil menikmati teh hangat buatan Mama hingga subuh menjelang. Menghiraukan sakitnya, Panji benar-benar merasa kebahagiaan Agam menular padanya dan keluarganya saat ini. Saat-saat berkumpul dalam canda, tawa pada dini hari terasa amat berharga untuknya.
Selang sepuluh bulan, tibalah hari sakral ini, dimana gue juga didaulat jadi panitia sama kedua mempelai, berikut Aruni dan beberapa sahabat dekat mereka. Kocak sih, pas liat Agam pake beskap, keris dan blangkon, udah gitu Agam dibedakin, hahaha! Jadi inget, terakhir kali gue liat Agam pake beskap itu waktu Kartinian di TK, dan di saat yang sama gue menyadari bahwa persahabatan gue dan Agam udah segini lama, 17 tahun! Can’t believe today he became a fully grown man as the groom and a husband. *mulai terharu dalam hati*
Pas gue liat Rani..dia keliatan beda banget dengan kebaya brokat bernuansa putih-emas. Dandanannya juga keliatan pas di wajahnya, sehingga gue berharap make up nya waterproof biar nanti nggak luntur kalo nangis saat prosesi sungkeman. Anggun banget, kayak bukan Rani yang biasa gue liat. Auranya juga kelihatan murni bahagia, sampe periasnya gak bosen-bosen ngeliatin mukanya. Kalo aja Agam bukan sahabat gue, mungkin Rani bakalan gue gebet, hehe.. (peace bro!)
Damn, pas gue liat mereka berdua akhirnya dipersatukan di tengah aula mesjid, mata gue mulai panas. Terharu ngeliat betapa cocoknya mereka bersanding di hadapan wali dan para saksi. Apalagi pas Agam ngucapin ijab qabul sambil menjabat tangan ayahnya Rani, gue merinding. Gak nyangka Agam yang selama ini gue kenal kalem bisa ngucapin ijab qabul dengan lancar dalam satu tarikan nafas. Wibawanya keluar boss!
Oke,  sebut aja gue norak, tapi beneran deh, baru kali ini gue menghadiri sebuah pernikahan yang segitu sakralnya sampe gue..well..nangis, di depan Aruni. Yah, semacho-machonya cowok kalo di depan Aruni gengsi gue ilang, tapi untung aja Aruni ngerti disamping karena dia mewek juga sampe touch up berkali-kali, padahal udah gue ingetin dandannya jangan tebel-tebel.
Asli, gue takjub ngeliat pemandangan di depan gue tadi sore. Kesakralan pernikahan Agam dan Rani yang nggak gue sangka-sangka akan datang secepat ini, apalagi sekarang mereka udah resmi jadi suami istri, sah! Saking girangnya sebenernya gue pengen ngajakin temen-temen yang lain teriak “Sah” kayak neriakin “Gol” biar suasananya rusuh dikit, tapi berhubung di mesjid gue hanya bisa senyam-senyum sambil ngeliat wajah sumringah mereka berdua.
Ketika Rani mencium tangan Agam sebagai tanda bakti seorang istri, gue nyadar banget bahwa kebiasaan ‘salim’ yang dulu sering gue lihat memang pertanda mereka akan dipersatukan hari ini. Gue terharu sekaligus merinding. Begitu giliran para tamu ngasih selamat sekaligus foto-foto habis sungkem, gue gak berani ngomong apa-apa karena nahan nangis. Di kanan-kiri gue, Aruni dan nyokap gue udah sibuk sama tissue karena terharu berhubung Agam juga udah dianggap anak sendiri.
Begitu giliran gue, Agam dan Rani tersenyum sumringah di hadapan gue, bahagia banget. Refleks gue peluk mereka berdua erat-erat, dan tangisan gue pecahlah.. karena dengan tangisan itulah perasaan gue bisa diterjemahkan ketika gue terlalu malas untuk berkata-kata.  

Di hadapan Agam dan Rani, gue kembali flashback –ketika Agam dan Rani masih unyu-unyunya, ketika gue jadi penengah saat mereka berantem dan ‘nyamuk’ ketika mesra, saat gue diperlakukan sebagai ‘anak’ mereka tapi dicak-cakkin juga, ketika mereka rela repot-repot nyomblangin gue tapi gagal melulu..ngebantuin Agam move on, motret prewedding dan bantuin pernikahan mereka..ah…itu semua malah bikin tangisan gue menjadi-jadi.  Saat itu sih gak peduli seberapa kenceng gue nangis, tapi setelah itu gue tengsin banget. Apalagi tangisan pecah ketika ada bokap-nyokap dan abang di samping gue pula, makanya setelah itu abis deh gue jadi bahan ketawaan keluarga. Dan bukan nggak mungkin adegan “Shah Rukh Khan live at Masjid Pondok Indah” ini langsung nyebar ke grup keluarga besar karena nyokap gue ngirim foto candid  lewat BBM. *tepokjidat*
Adegan berikutnya lebih “India” lagi; begitu selesai meluk muka kita bertiga udah basah aja sama air mata. Gue cuma bisa ngerangkul pundak mereka erat-erat, habis itu foto-foto sama keluarga gue dan Aruni sebelum menuju tempat resepsi. Peran gue sebagai wingman terselesaikan dengan baik, dan gue merasa bahagia sekali walaupun tau bakalan kangen masa-masa itu. Sisanya, acara berjalan lancar, kedua keluarga bahagia, temen-temen ngumpul semua, makanannya enak-enak, daaan…Mas Pandu ketemu jodohnya, hore!
Buat Agam dan Rani, hari ini adalah salah satu hari terbaik dalam hidup gue selama 21 tahun ini, dimana lo berdua dipersatukan dalam ikatan suci. Gue tahu kehidupan kita bertiga nggak akan sebodoh dulu dan gue akan merindukan itu, tapi sejujurnya gue bahagia banget atas pernikahan kalian berdua.
Terima kasih telah membiarkan gue numpang ngendon di dunia kalian berdua tanpa harus merasa bersalah, karena gue bisa belajar bagaimana mencintai seseorang. Terima kasih udah menjadi bukti nyata bahwa true love itu beneran ada sehingga gue kembali memercayainya. Terima kasih juga telah mengharumi hidup gue yang serba absurd ini. Terima kasih udah mengajarkan gue untuk lebih berani mengambil keputusan besar dan mengejar mimpi.
Agam dan Rani..apapun tantangan yang akan dihadapi dalam kehidupan pernikahan kalian, harus tetep rukun ya! Semoga Agam jadi imam yang baik buat keluarganya, Rani jadi bidadari surga buat Agam, terus cepet ‘isi’ biar kalian jadi ayah dan ibu paling kece buat anak-anak kalian, tetep berbakti sama orang tua dan mertua..tetep jadi pasangan termesra yang bisa jadi panutan buat gue dan Aruni, juga tentunya buat anak-anak kalian nanti. Saling setia dan saling cinta sampe kiamat, karena kalian berdua emang jodoh dunia akhirat di mata gue.
Oiya, berhubung kalian berdua suka Lord of the Rings, ini “wejangan” karangan gue buat kalian: “One does not simply walk into a marriage life, but after all there are two rings to tie you all in a vow from today.”
Sincerely, Panji—your silly, witty wingman.

P.S.: Dilarang meng-copy seluruh isi cerpen "A Wingman's Confession" karena melanggar hak cipta dan undang-undang yang berlaku. Instead, yuk saling beri apresiasi :)

2 komentar:

  1. Kereen,,, emeng2,, panji kapan nikahnya.. :3

    BalasHapus
    Balasan
    1. kayaknya Panji masih lucu-lucunya sama Aruni, jadinya masih agak lama :p
      makasih yaa udah baca :D

      Hapus

Komentar boleh, nyampah gak jelas jangan ya :D