Hikayat Detik Terakhir



Sudah empat puluh menit lewat lima puluh enam detik  engkau tertidur. Pada sore yang dingin dan berangin,tubuh ringkihmu tetap hangat dengan balutan selimut tebal, bersiap menuju alam mimpi. Rautmu tenang, seperti kala air membasuh wajahmu sebelum mendekatkan diri kepada Tuhan. Kurasa engkau sangat siap untuk pergi ke sana, tak sabar mengobrak-abrik belantara misteri.

Tahukah kau, mimpi adalah sebuah film abstrak sehingga kau tak dapat menebak bagaimana ceritanya? Kali ini kau beruntung. Jarang-jarang malaikat menceritakan hikayat manusia secara langsung.

Kudekatkan mulutku tepat di samping daun telingamu. Mari, kubisikkan satu cerita yang mungkin akan lenyap begitu saja kala engkau tersadar. Percuma, memang. Tapi lebih baik begini daripada tidak menceritakannya sama sekali. Barangkali, jika aku beruntung cerita ini akan merambat ke dalam mimpimu, dan kau akhirnya tahu bagaimana aku menjagamu selama ini. Atau jika apa yang terjadi adalah kebalikannya, biarlah kisah ini mengalir di sela-sela mimpimu, entah kau akan menyadarinya atau tidak.

Waktu kami menonton kejadian demi kejadian di bawah sana, entah bagaimana aku sudah tahu bahwa kaulah yang akan kujaga. Pernah aku bertanya, kapan saat itu akan tiba. Tuhan tidak menjawab; sebaliknya, Dia terus mencipta isi semesta. Hingga tibalah waktunya ruhmu ditiup ke dalam rahim, Tuhan memerintahkanku untuk menjagamu, tepat setelah kau lahir hingga saatnya nanti, ketika Dia begitu rindu sehingga merenggutmu dari pelukan bumi,entah kapan.

Kutunggu kelahiranmu dengan melihat rekan sesama malaikat bertugas. Yang kau tahu, kami, para malaikat tidak punya perasaan, namun kuberitahu kau: kami menjaga kalian sepenuh hati. Jika  malaikat penjaga menyelamatkan nyawa seseorang dari kematian, cahaya dalam dirinya akan memudar dan kekuatannya melemah.  Ada beberapa yang masih segar bugar—dalam arti manusia yang dijaganya selama ini jarang terkena masalah apalagi terhindar dari maut. Namun yang mengerikan adalah ketika si manusia mati, karena saat itu para malaikat juga menghilang tanpa jejak, dan takkan kembali. Intinya, kami ditugaskan untuk melindungi nyawa manusia—kaummu, kendatipun hidup dan mati ada di tangan Tuhan. Sebesar itukah pengorbanan malaikat untuk menjaga manusia?

Engkau lahir, tugaskupun dimulai. Aku menjagamu agar tetap tenang dalam gendongan ibumu, atau tidak jatuh dari tempat tidur. Disadari atau tidak, kadang kau melihatku saat melayangkan pandangan ke segala arah, mempertanyakan keberadaan teman-teman khayalan saat kau merasa kesepian. Andai kau benar-benar dapat melihatku, kau tak akan pernah kesepian karena ada aku sebagai kawan bermainmu. Ketika mimpi buruk mengganggumu di tengah malam, aku menenangkanmu. Atau membujukmu untuk istirahat ketika kau mulai kewalahan menghadapi tugas demi tugas yang dibebankan padamu. Sesekali, aku tak tega melihat dirimu begitu lelah, namun aku tahu Tuhan tidak pernah menguji di luar batas kemampuan ciptaan-Nya.

Aku lebih suka melihatmu dari atas, agar bisa melindungimu dari petaka yang semakin menjamur di muka bumi. Tapi..itu dulu.



Tahun berganti, kau tumbuh menjadi sesosok perempuan berparas jelita lagi mulia, setelah kaututupi sekujur tubuhmu. Kaubuat banyak pemuda terpesona, namun tak satupun dari mereka cukup layak untuk mendampingimu, menurutku. Dengan berbagai cara kujauhkan mereka, agar kau tahu tidak ada yang lebih layak menjagamu selain aku dan Tuhan. Namun pesonamu itu membuat tugasku terbengkalai, kadang-kadang. Hanya dengan mengamati moleknya gerak-gerik dan halus tutur katamu saja, sialnya kubiarkan para lelaki itu luput dari pengawasanku. Aku bukan lelaki, bukan pula perempuan. Tapi jika Tuhan memberi izin, mungkin sebagai lelaki aku akan menjelma. Tanpa perlu bertanyapun harusnya kau sudah tahu alasannya.

Duhai cahaya rembulan di bumi, secantik itukah engkau hingga manusia dan malaikat sepertiku terpukau?

Sesaat keberadaanku memang terlupakan setelah aku menyadarinya, maka aku memilih untuk rehat sebentar di suatu tempat yang tak mungkin kau tahu. Jika aku enggan mengikutimu, aku hanya bisa mengamati. Ketika mereka ada di sampingmu, auramu berbeda. Ceria. Harusnya aku ikut senang melihat senyummu merekah setiap saat. Tapi tak jarang juga matamu berair sampai kau jatuh tertidur, atau rautmu berubah garang ketika mereka membuatmu kesal. Kala mereka pergi, kadang kau murung, meratapi nasib mengapa kau kembali sendiri dan merasa kesepian. Walau kau tidak mengatakannya, mari, biarlah kujawab pertanyaan yang bergumul di kepala mungilmu: mereka tidak tahu cara memuliakanmu.

Namun kau tak kunjung lelah mengejar cinta. Berulangkali kusaksikan perjuanganmu, yang sayangnya sering  berakhir pahit. Maaf, itu salahku karena sengaja menjauhkan mereka darimu. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku nyata, walau wujudku tak terlihat oleh mata telanjang. Seolah memahami maksudku, kaunikmati hidup dengan gembira karena memiliki keluarga dan teman-teman yang mengiringi kehidupanmu. Dengan Tuhan pun kau cukup dekat, namun tetap saja kehadiranku tak digubris, kecuali lewat dongeng  yang mungkin menempati sudut terpencil dalam memorimu.

Kini, ada dua laki-laki yang mengisi relung hatimu; dia yang hanya sesekali menemuimu, dan dia yang kauakui sebagai sahabatmu. Entah mengapa aku lebih suka yang kedua. Jika kau bersamanya, aku tenang karena melihatmu bahagia. Seringkali kauhabiskan waktu minum kopi berdua dengannya, yang harumnya selalu berkelindan di sekitarmu,wangi sekali. Dengan sabar, kaudengarkan curahan hatinya dan menghadapi tingkah lakunya yang kadang kekanakan, walau aku tahu saat itu kau sedang menahan kesedihan yang tiba-tiba membebani pikiranmu karena si pria pertama, yang kau sebut kekasih itu. Sungguh, kau perempuan tangguh. Dia yang kausebut sahabat memiliki hati yang tulus dan senantiasa menemanimu itu sungguh beruntung dapat mendampingimu.

Sifat keras kepalamu tak kunjung hilang rupanya. Sudah berkali-kali kuberitahu bahwa kekasihmu bukan pendamping yang tepat. Kau tidak bahagia bersamanya, walaupun awalnya demikian. Kau tidak tahu betapa brengseknya dia—ketika dia mengaku padamu sedang bekerja, aku melihatnya sedang bersama perempuan lain yang jauh berbeda darimu, dari kejauhan. Setelah kau putus, kau masih memiliki sedikit  harapan untuk kembali bersamanya. Aku tidak menilaimu salah, namun sudah saatnya kau terima takdir yang menghampirimu.

Hingga sampailah pada hari ini, tatkala kau tergolek lemah di dalam ambulans menuju rumah sakit, berlumur darah. Namun di mataku engkau tetap terlihat suci dan tenang sebagaimana biasa aku melihatmu tidur.

Ingatkah kau, saat kita berjalan menyusuri kejamnya jalan raya di ibukota? Satu kali kau terhindar dari maut, karena pikiranmu sedang digayuti oleh berbagai urusan sehingga mengacaukan kepekaanmu terhadap lingkungan sekitar. Akupun tak bisa menebak pasti apa saja yang ada di kepalamu, karenanya hampir saja aku kesulitan mencari celah untuk menyelamatkanmu dari mobil yang akan menabrak ketika kau menyeberangi jalan ke terminal. Kala itu kau mundur selangkah, dan kutuntun menyebrang ketika jalanan padat oleh kendaraan, saat macet karena hujan. Kau tidak kehujanan karena membawa payung kesayanganmu, kemudian menutupnya ketika kau hendak menaiki bis.

Kadang, hujan memang saat yang paling sial ketika berada di luar rumah. Baru setengah jalan, bis yang kautumpangi mogok sehingga semua penumpangnya harus turun di tengah jalan. Tak habis pikir, kenapa manusia saat ini hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa memedulikan keselamatan orang lain? Rasanya ingin sekali kuhantam wajah si supir dan kenek bis bernomor 72 dengan palu saat itu karena berani bertindak seperti itu terhadapmu dan manusia-manusia lain yang menumpang.

Saking dendamnya, lagi-lagi kau luput dari pandanganku. Saat kau menyeberang, rupanya ada mobil yang berniat menyalip bis sialan itu dengan kecepatan tinggi. Pikiranmu masih kalut, setengah kesal karena situasi yang sedang dihadapi. Makin sulit kucari cara untuk melindungimu, sampai akhirnya ketika aku baru saja hendak memberitahumu, kau tertabrak. Tubuhmu terpental ke aspal, sebagian tubuhmu berdarah. Beruntung aku masih dapat melindungi kepala, dengkul dan ujung kaki sehingga tidak terluka lebih parah lagi. Pada saat yang sama, aku melemah, cahaya yang selama ini terpancar kian memudar.

Namun, menit berikutnya adalah saat terindah selama aku bertugas: kau melihatku. Walau matamu setengah terbuka karena terus menerus terkena air hujan, kau memandang tepat ke arahku, kemudian tersenyum tipis sebelum ambulans datang dan membawamu ke rumah sakit. Meski tubuhmu penuh luka, yang bisa kulihat adalah senyum dan tatapan lembutmu, yang seolah mengatakan terima kasih padaku. Detik berikutnya, kau tidak sadarkan diri hingga saat ini, kala kau sudah tiba di rumah sakit.

Semenit lagi, Tuhan akan memanggilmu pulang. Ia merindukan banyak orang, sehingga memanggil mereka kembali ke haribaan-Nya. Sinarmu mungkin memudar di bumi, tapi di surga, kau bersinar lebih terang dari rembulan itu sendiri. Aku bahagia bisa menjagamu,dan menceritakan semuanya sebelum kau dan aku tidak akan dipertemukan lagi, untuk selamanya. Dan tidak ada lagi yang membuatku lebih bahagia dibanding kau melihat dan menyadari keberadaanku, dimana momen ini hanya kita yang memiliki.

 Mungkin, sebaik-baiknya manusia ketika dia pergi adalah ketika ia dalam keadaan baik atau sedang beribadah namun sebaik-baiknya malaikat ketika musnah adalah saat  sedang jatuh cinta—karena aku  bahagia.

Selamat bermimpi panjang, Sayang.

3 komentar:

  1. sumpah terhanyut banget sama prosamu! ga coba bikin buku? pengen beli... alna punyamu bagus banget diksinya, sama kaya malaikat jatuh clara ng itulooh... nd suka banget sama kalimat ini "sebaik-baiknya malaikat ketika musnah adalah saat sedang jatuh cinta—karena aku bahagia." aku juga suka bikin prosa yang ada kata malaikatnya, follow nd komen yaaa...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aaaa terima kasih! Alhamdulillah udah, linknya ada kok di blog :)
      terima kasih yaaaa komentarnya :DD

      Hapus

Komentar boleh, nyampah gak jelas jangan ya :D