Dari sudut kamar, kupandangi dirimu lekat-lekat. Seperti
biasa kau sedang asyik membaca buku hingga tertidur saat di luar sedang hujan
siang itu.
Kausibukkan matamu dengan membaca susunan huruf yang sebetulnya
semu. Kaubiarkan mulutmu mengeja kata yang melekat dalam hidupmu, bahkan
kaubaca dengan penuh perasaan hingga kau terbelenggu di dalamnya. Kau
tertawa,kemudian menitikkan airmata. Sesekali kau membolak-balik halamannya dengan
tidak sabar, memeriksa apa yang luput dari mata, mulut dan imajimu. Hingga
halaman terakhir, kau tetap terhanyut, dan kembali membacanya hingga lusuh.
Hal yang sama kaulakukan pada ribuan buku di kamarmu, tapi tidak padaku. Tinggal aku
yang masih tertutup rapat seperti pengantin tak terjamah pada malam pertama.
Aku cemburu. Harusnya aku yang melekat dalam dirimu. Mereka
hanya membagi cerita agar membuat semuanya puas—kecuali hatimu. Percayalah, kau
akan ditinggalkan dalam keadaan gelisah tanpa arah, atau dipenuhi mimpi-mimpi
semu setelah hanyut dalam cerita mereka.
Kenapa kau tidak membacaku, seayat saja?
Jangankan membaca, melihat huruf mahaindah itu saja kau tak
betah. Melupakan pelukan hangat liukan ayat
yang menjagamu dari pintu neraka, kau lebih memilih tertusuk aksara kaku dan
menikmati kefanaan dunia.
Padahal aku akan memberimu pahala jika kau sudi membacaku.
Apa yang ingin kauketahui jawabannya ada padaku—bukan, Tuhan menitipkan
jawaban-Nya dalam bentuk surat dan ayat agar kau terus ingat pada-Nya.
Entahlah. Mungkin belum saatnya kau membutuhkanku. Jika Tuhan
menyayangimu, izinkan aku menyentuh sanubarimu..sekali saja. Akan kunanti momen
itu.
-Untuk kita, yang mungkin melupakan perannya sebagai pedoman hidup. Mungkin ini jeritan hatinya.-
Regards, Ratri
Ah, merasa tersentil banget. :(
BalasHapusTerima kasih untuk postingannya ini, Ratri. :)