
Benar saja. Sosok
kecil Gentaro berlari memasuki kuil sambil berteriak memanggil ibunya. Saat itu
kuil sedang sepi, para biksu sedang berziarah ke tempat lain setelah berdoa.
Tak lama kemudian, Gentaro muncul bersama sosok biksuni lain di belakangnya. Sang samurai menduga bahwa
biksuni muda di belakang bocah cilik itu adalah sang ibunda, dengan wajah
tertunduk di balik tudung putih. Ia
penasaran dengan parasnya, namun ketika perempuan itu mengangkat wajah, waktu
membeku.
Ohatsu.
Darahnya kembali mendidih, jantungnya berdetak lebih cepat
ketika sang samurai tertegun pada wajah jelitanya. Entah bagaimana tubuhnya
terasa amat rikuh sembari memegang tangan putranya, Gentaro. Matanya tak
berkedip melihat wajah yang dulu begitu akrab semakin pucat dan tirus, mungkin
karena beban hidup yang dipikulnya selama ini. Pipi Ohatsu memerah karena malu.
Denyut nadinya yang selama ini tenang kembali menggelegak laksana ombak kala
badai. Nafasnya jadi sesak seakan pinggangnya dibebat kencang-kencang, dadanya
naik turun. Alis pedang Ohatsu tercukur habis, namun matanya masih cukup tajam
untuk memandang sang samurai hingga tak berkutik.
Tubuh sang samurai masih membeku ketika ruhnya seolah ingin
berontak dan berlari, entah kemana. Ia memilih untuk menetap walau keraguan
kerap kali berusaha mengalihkan perhatiannya. Diiringi gemuruh degup jantung di
dada, ego, emosi, dan akal sehat tiba-tiba saling beradu di kepalanya,
berdebat tentang siapa yang akan berkuasa pada detik berikutnya. Di saat yang
sama, ribuan pertanyaan dan dugaan berceloteh ramai sehingga dirinya kini kembali
diliputi keraguan.
Bagaimanapun juga, ia tak dapat meninggalkan mereka begitu
saja, walau baginya berhadapan dengan Ohatsu dan masa lalunya lebih mengerikan
ketimbang dikepung pasukan klan Heike. Namun nasihat sang ayah berdesir halus
di telinganya:
Hidup terlalu singkat
untuk terjebak dalam masa lalu.
Seiring beberapa
helai kelopak sakura bertiup di antara mereka, kenangan malam itu kembali
menyeruak. Keduanya masih saling tertegun, meraba masa lalu yang tersimpan di
balik tatapan syahdu, mereka-reka apa yang terjadi setelahnya hingga membawa
mereka pada detik ini.
Keduanya setuju bahwa berdamai dengan masa lalu tidaklah
mudah. Namun mereka bukan lagi sepasang remaja yang baru mencicipi pahit
manisnya kehidupan, melainkan sepasang manusia dewasa yang telah belajar dari
kesalahannya. Pelan-pelan, sang samurai membungkukkan tubuhnya dengan takzim di
hadapan Ohatsu. Walau luar biasa canggung, seulas senyum tipis tersungging di
bibir sang samurai ketika keduanya kembali bersitatap. Tak disangka, raut wajah
Ohatsu melunak dan membalas dengan senyumannya yang mempesona, namun lebih
bersahaja.
“Lama tak berjumpa, Ohatsu.” sang samurai menyapanya dengan
nada sekasual mungkin.
“Selamat datang kembali, Koichi.” Ohatsu memanggil nama
lamanya dengan nada bersahabat.
Seketika, jejak masa lalu keduanya terhapus tanpa beban, seperti kelopak bunga terakhir yang gugur dari pohon. Hanya ada
kedamaian dan keramah-tamahan di dalam kuil kecil ketika sang samurai diajak
masuk ke dalamnya, untuk menikmati sarapan bersama-sama. Gentaro menggandeng
tangan Ohatsu dan sang samurai menuju dapur kecil di belakang kuil, berceloteh
riang tentang makanan yang akan mereka lahap pagi itu.
Mungkin suatu hari, akan ada sebuah cerita tentang samurai yang berdamai dengan masa lalunya sendiri, kala pohon sakura berbunga.
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar boleh, nyampah gak jelas jangan ya :D