Pohon Sakura (Bagian Pertama)


Tatkala semilir angin musim semi menyapa desa, warga menyambutnya dengan gembira  seolah salah seorang anggota keluarga atau kerabat mereka pulang. Langit yang selama ini pucat kembali cerah dihias semburat matahari. Pepohonan gundul di desa mulai ditumbuhi dedaunan hijau segar dan lebih  lebat dari musim-musim sebelumnya. Oh, tentunya pepohonan sakura mulai lebat berbunga, membuat pemandangan desa kian cantik.

Pekikan burung memecah sunyi seiring mereka melintasi udara pagi, bahkan lebih ramai ketika satu-dua hinggap di reranting pohon dan bercengkrama dalam sukacita. Sembari bercengkrama, burung-burung itu tak henti-henti memandang langit biru cerah yang mereka rindukan selama beberapa bulan terakhir. Tumpukan awan gemawan membentuk formasi abstrak yang hanya bisa diterjemahkan oleh khayalan, namun entah bagaimana tetap terlihat indah di atas sana. Gemericik anak-anak sungai sesayup mulai terdengar setelah membeku selama musim dingin, menari lincah menyusuri bebatuan seakan melemaskan aliran mereka yang telah lama kaku.

Namun, rupanya tak hanya sakura yang merekah hari itu. Senyum bersahaja juga merekah dari bibir patung dewa-dewi di dalam kuil kecil yang terletak di puncak bukit. Pancaran sinar keemasan dari tubuh mereka tampak lebih terang, entah karena menyatakan kegembiraan dari kahyangan atas kehadiran musim semi di desa, atau karena dibasuh setelah dibiarkan berdebu selama beberapa waktu. Seuntai doa meluncur dari bibir para biksu di hadapan patung, tentang sebuah lukisan alam yang hanya  sebentar dimiliki desa kecil di kaki bukit tanpa nama.

Senyum merekah ketika para penduduk keluar rumah: para petani yang selama ini menggarap kebun dan sawah dengan tekun  akhirnya bersiap menuai panen dan membagikannya kepada keluarga dan tetangga. Pedagang ikan, buah, cemilan dan mainan mulai menyerukan dagangan mereka ke seluruh desa dengan penuh sukacita, para wanita berkumpul sambil bersenda gurau di depan rumah. Orang-orang lanjut usia menghirup wangi udara dalam-dalam dari teras rumah, memanjatkan syukur pada dewa-dewi karena masih diberi waktu untuk menikmati keindahannya. Anak-anak berlarian kesana kemari diantara pepohonan sakura, merengkuh keceriaan musim semi di wajah-wajah bulat nan polos itu. Mereka berkejaran tanpa henti sambil tertawa lepas, menambah semarak menyambut datangnya musim semi di desa.

Tujuh  dari mereka bermain petak umpet di kebun sakura yang dikelilingi bukit kecil. Salah satu anak laki-laki jadi penjaga, sementara yang lain berkerumun di belakangnya. Mereka begitu bersemangat memainkan permainan itu seolah tak ada hari esok, apalagi pada musim semi dimana sengatan matahari masih tunduk pada hamparan awan teduh dan belaian angin hingga senja tiba.

“Aku hitung sampai sepuluh ya!” kata si bocah penjaga bertubuh tambun itu.
“Saaaatuuuuu…” seru si penjaga lantang sementara teman-temannya berhamburan mencari tempat sembunyi. Kalau ada yang melihat mereka dari puncak bukit, anak-anak itu akan seperti gerombolan semut yang terusik ketika menikmati manisan bersama-sama.

“Duuuaaaaa…”
Empat anak rupanya sudah lenyap di balik pohon-pohon sakura. Bahkan dua diantaranya bersembunyi tepat di balik tempat penjaga, menahan tawa. Sisanya masih kebingungan mencari tempat, hingga akhirnya dua orang lainnya bergabung dengan teman-temannya di balik pohon sakura yang letaknya agak jauh. Hingga hitungan kedelapan,  tinggallah seorang anak bernama Gentaro, satu-satunya yang belum bersembunyi. Setelah celingukan ke segala arah karena bingung, akhirnya dia menemukan sebatang pohon sakura yang terletak paling jauh dari persembunyian teman-temannya, dan memutuskan untuk bersembunyi di sana.

Namun rupanya  Gentaro mendapat teman sembunyi. Anak tujuh tahun bertubuh kecil itu kaget luar biasa mendapati si teman yang lebih dulu bersembunyi di situ adalah seorang samurai, yang selama ini dikiranya mahkluk ajaib  yang senantiasa didongengkan ibunya sebelum tidur. Gentaro mengamati sang samurai dengan seksama. Karena sang samurai sedang meringkuk di tanah, dia mencoba meniru posisinya tanpa mengalihkan pandangan,menghadap sang samurai. Bentuk tubuhnya sama dengannya, hanya saja lebih besar dan  terbungkus baju zirah. Di pinggang sang samurai terselip sebilah pedang panjang, mendekam aman di balik sarungnya. Gentaro mencoba memahami apakah samurai di hadapannya se’manusiawi’ itu, bukannya berdiri gagah berani  seperti yang dibayangkannya.

Kepolosan khas kanak-kanak  menggelitik Gentaro untuk mengintip wajah  yang tersembunyi di balik helm tanduk kumbang keemasan, dengan lambang klan Genji di tengahnya. Diketuknya batok helm besi itu dengan kepalan tangan mungilnya, namun sang samurai tak kunjung bangun. Maka ia mengendap ke balik pohon, lalu mengagetkan sang samurai agar Gentaro bisa melihat wajahnya.

Lanjut Part 2

8 komentar:

  1. Aku mau komentar di luar tulisan yang kupandang bagus ini, kenapa bunga sakura hanya mekar beberapa hari? Padahal keindahannya... Ah... Semua orang tahu.

    BalasHapus
  2. selalu suka sama bahasanya ratri, bikin berimajinasi juga. ayo lanjutin, penasaran lanjutannya. apakah itu seorang samurai biasa? atau pangeran kodok? #eh

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih funi :D
      makanya tunggu lanjutannya ya :D

      Hapus
  3. dari yang bisa aku tangkep nih mbak, mbak ratri emang tahu secara mendetail tentang latar belakang dari tulisan ini, bahkan aku yang gak terlalu tahu tentang background jepang jadi bisa ngebayangin jepang itu kaya gimana. apa ini potongan novel mbak yang ada di nulisbuku?

    BalasHapus
  4. Keren kaka..
    Aku suka banget baca tulisan yang penuh imajinasi gini,
    Di tunggu bagian selanjutnya ya kaka :)

    BalasHapus
  5. Ah penjelasannya enak sekali Ratri :3 berasa lagi nonton dorama :D

    BalasHapus

Komentar boleh, nyampah gak jelas jangan ya :D