
Pekikan burung memecah sunyi seiring mereka melintasi udara
pagi, bahkan lebih ramai ketika satu-dua hinggap di reranting pohon dan
bercengkrama dalam sukacita. Sembari bercengkrama, burung-burung itu tak
henti-henti memandang langit biru cerah yang mereka rindukan selama beberapa
bulan terakhir. Tumpukan awan gemawan membentuk formasi abstrak yang hanya bisa
diterjemahkan oleh khayalan, namun entah bagaimana tetap terlihat indah di atas
sana. Gemericik anak-anak sungai sesayup mulai terdengar setelah membeku selama
musim dingin, menari lincah menyusuri bebatuan seakan melemaskan aliran mereka
yang telah lama kaku.
Namun, rupanya tak hanya sakura yang merekah hari itu. Senyum
bersahaja juga merekah dari bibir patung dewa-dewi di dalam kuil kecil yang
terletak di puncak bukit. Pancaran sinar keemasan dari tubuh mereka tampak
lebih terang, entah karena menyatakan kegembiraan dari kahyangan atas kehadiran
musim semi di desa, atau karena dibasuh setelah dibiarkan berdebu selama
beberapa waktu. Seuntai doa meluncur dari bibir para biksu di hadapan patung, tentang
sebuah lukisan alam yang hanya sebentar
dimiliki desa kecil di kaki bukit tanpa nama.
Senyum merekah ketika para penduduk keluar rumah: para
petani yang selama ini menggarap kebun dan sawah dengan tekun akhirnya bersiap menuai panen dan membagikannya
kepada keluarga dan tetangga. Pedagang ikan, buah, cemilan dan mainan mulai
menyerukan dagangan mereka ke seluruh desa dengan penuh sukacita, para wanita
berkumpul sambil bersenda gurau di depan rumah. Orang-orang lanjut usia
menghirup wangi udara dalam-dalam dari teras rumah, memanjatkan syukur pada
dewa-dewi karena masih diberi waktu untuk menikmati keindahannya. Anak-anak
berlarian kesana kemari diantara pepohonan sakura, merengkuh keceriaan musim
semi di wajah-wajah bulat nan polos itu. Mereka berkejaran tanpa henti sambil
tertawa lepas, menambah semarak menyambut datangnya musim semi di desa.
Tujuh dari mereka
bermain petak umpet di kebun sakura yang dikelilingi bukit kecil. Salah satu
anak laki-laki jadi penjaga, sementara yang lain berkerumun di belakangnya. Mereka
begitu bersemangat memainkan permainan itu seolah tak ada hari esok, apalagi
pada musim semi dimana sengatan matahari masih tunduk pada hamparan awan teduh
dan belaian angin hingga senja tiba.
“Aku hitung sampai sepuluh ya!” kata si bocah penjaga
bertubuh tambun itu.
“Saaaatuuuuu…” seru si penjaga lantang sementara
teman-temannya berhamburan mencari tempat sembunyi. Kalau ada yang melihat
mereka dari puncak bukit, anak-anak itu akan seperti gerombolan semut yang
terusik ketika menikmati manisan bersama-sama.
“Duuuaaaaa…”
Empat anak rupanya sudah lenyap di balik pohon-pohon sakura.
Bahkan dua diantaranya bersembunyi tepat di balik tempat penjaga, menahan tawa.
Sisanya masih kebingungan mencari tempat, hingga akhirnya dua orang lainnya
bergabung dengan teman-temannya di balik pohon sakura yang letaknya agak jauh.
Hingga hitungan kedelapan, tinggallah
seorang anak bernama Gentaro, satu-satunya yang belum bersembunyi. Setelah
celingukan ke segala arah karena bingung, akhirnya dia menemukan sebatang pohon
sakura yang terletak paling jauh dari persembunyian teman-temannya, dan
memutuskan untuk bersembunyi di sana.
Namun rupanya Gentaro
mendapat teman sembunyi. Anak tujuh tahun bertubuh kecil itu kaget luar biasa
mendapati si teman yang lebih dulu bersembunyi di situ adalah seorang samurai, yang
selama ini dikiranya mahkluk ajaib yang
senantiasa didongengkan ibunya sebelum tidur. Gentaro mengamati sang samurai
dengan seksama. Karena sang samurai sedang meringkuk di tanah, dia mencoba
meniru posisinya tanpa mengalihkan pandangan,menghadap sang samurai. Bentuk
tubuhnya sama dengannya, hanya saja lebih besar dan terbungkus baju zirah. Di pinggang sang samurai
terselip sebilah pedang panjang, mendekam aman di balik sarungnya. Gentaro
mencoba memahami apakah samurai di hadapannya se’manusiawi’ itu, bukannya
berdiri gagah berani seperti yang
dibayangkannya.
Kepolosan khas kanak-kanak menggelitik Gentaro untuk mengintip wajah yang tersembunyi di balik helm tanduk kumbang
keemasan, dengan lambang klan Genji di tengahnya. Diketuknya batok helm besi
itu dengan kepalan tangan mungilnya, namun sang samurai tak kunjung bangun.
Maka ia mengendap ke balik pohon, lalu mengagetkan sang samurai agar Gentaro
bisa melihat wajahnya.
Lanjut Part 2
Lanjut Part 2
Aku mau komentar di luar tulisan yang kupandang bagus ini, kenapa bunga sakura hanya mekar beberapa hari? Padahal keindahannya... Ah... Semua orang tahu.
BalasHapusselalu suka sama bahasanya ratri, bikin berimajinasi juga. ayo lanjutin, penasaran lanjutannya. apakah itu seorang samurai biasa? atau pangeran kodok? #eh
BalasHapusmakasih funi :D
Hapusmakanya tunggu lanjutannya ya :D
aq suka diksinya :))
BalasHapusdari yang bisa aku tangkep nih mbak, mbak ratri emang tahu secara mendetail tentang latar belakang dari tulisan ini, bahkan aku yang gak terlalu tahu tentang background jepang jadi bisa ngebayangin jepang itu kaya gimana. apa ini potongan novel mbak yang ada di nulisbuku?
BalasHapusKeren kaka..
BalasHapusAku suka banget baca tulisan yang penuh imajinasi gini,
Di tunggu bagian selanjutnya ya kaka :)
Ah penjelasannya enak sekali Ratri :3 berasa lagi nonton dorama :D
BalasHapussuka sekali
BalasHapus