Pohon Sakura (Bagian Ketiga)


“GRAAAAAA!!!!”
Suara geraman membuatnya terbangun. Anehnya suara geraman itu bukan berasal dari beruang, melainkan seorang bocah cilik yang tiba-tiba muncul di hadapannya ketika dia membuka mata. Si bocah kecil bernama Gentaro langsung menjauh, namun tetap memandangnya. Terpesona. Persis ketika ia memandang Ohatsu malam itu. Sang samurai hendak bangkit berdiri, namun kembali jatuh terduduk. Rasa sakit akibat luka perang kembali meradang di sekujur tubuhnya, sementara Gentaro masih berdiri di tempatnya.
“Sedang apa kau di sini?”tanya sang samurai kalem pada Gentaro.
Gentaro menghiraukan pertanyaannya. “Apa tuan seorang samurai?”
Sang samurai tersenyum. “Ya, aku seorang samurai. Kenapa kau masih di sini?”
Sekarang Gentaro menyunggingkan senyumnya pada sang samurai, gigi depannya tanggal. “Aku ingin melihat Tuan. Ternyata Tuan suka tidur juga seperti kucing.”
Rasa sakit di sekujur tubuhnya mendadak hilang saat dia melihat keluguan Gentaro, sementara bocah cilik bermata seperti biji wijen itu hanya tertawa geli.
“Siapa namamu?”tanyanya sambil membetulkan posisi tubuhnya dengan bersandar pada batang pohon.
“Gentaro. Aku dan teman-teman sedang bermain petak umpet. Sssst..tak ada yang tahu kita sembunyi di sini.. Tuan mau ikut bermain?”lanjutnya sambil membelalakkan mata, seolah sedang berbagi rahasia dengan bocah seusianya.
Sang samurai menggeleng karena dadanya terasa nyeri, nafasnya terengah-engah. Namun sebisa mungkin ditutupinya rasa sakit itu demi  Gentaro.
“Sebaiknya aku di sini saja, Gentaro. Aku masih ingin istirahat.”
“Kalau begitu Tuan istirahat saja di rumahku. Ibuku akan membuatkanmu teh dan kue mochi terlezat yang pernah ada!” kata Gentaro girang. Di luar bajunya yang lusuh dan kotor, cerlang matanya seolah menjadi penyejuk luka sang samurai. Tawa renyahnya pun kembali membuatnya merasa lebih baik.
“Kalau aku boleh tahu, kau dan ibumu tinggal di mana?” tanya sang samurai, rupanya setelah beberapa jam beristirahat tenaganya kembali terkumpul.
“Kami tinggal di puncak bukit belakang kebun sakura itu.” balas Gentaro sambil menunjuk ke sebelah kiri jauh, dimana puncak bukit kecil menyembul diantara pepohonan sakura. Sejauh mata memandang tak ada tanda-tanda keberadaan sebuah rumah di sana, hanya tanah lapang mengerucut di barat daya kebun sakura dan torii (gerbang kuil) kecil di atasnya. Sejenak, hanya sunyi  dan gemerisik angin yang menggoyang dedaunan di ranting pohon menyertai keberadaan mereka berdua.

“Aku ingin pulang,ah. Aku lapar.”gumam Gentaro.
“Lho, bukannya kau sedang bermain?”tanya sang samurai.
“Mereka pasti sudah pulang untuk sarapan, makanya aku lapar. Tuan lapar juga kan?”balas Gentaro dengan senyum jenakanya. Dipandanginya kebun sakura yang rupanya sudah sepi. Teman-temannya sudah berlarian pulang ke rumah masing-masing sebelum melanjutkan permainan sore nanti. Mendengar kata “sarapan”, sang samurai merasa sangat lapar, mengingat dirinya sudah tiga hari tidak makan sepanjang perjalanan. Maka ia pun setuju untuk bertandang ke rumah  Gentaro.

Jauh sekali..anak sekecil itu jauh-jauh kemari hanya untuk bermain? batin sang samurai sembari memandang puncak bukit di bawah bentangan langit biru. Lagi-lagi, kenangan menelusup ke dalam sanubarinya tanpa permisi, tepat ketika ia memandang arah rumah Gentaro, yang rupanya adalah kuil.

Di sini, tujuh tahun silam, adalah kali terakhir matanya memandang sosok Ayah dan Ibu di atas bukit kecil itu. Dua sosok yang selama ini paling ia muliakan—bahkan melebihi mertua sekaligus tuannya sendiri—kini kembali hadir dalam imajinya, tengah melayangkan senyum terindah untuknya dari atas sana, ketika putra tunggal mereka memutuskan angkat kaki ke Kamakura musim semi itu.

Dia ingat bagaimana Ayah sering membawanya ke puncak bukit itu sejak kecil, menghabiskan waktu berdua di sana. Pada hari keberangkatannya ke Kamakura, untuk kali terakhir ia dan kedua orang tuanya pergi ke puncak bukit. Kala itu ia masih diliputi rasa bersalah terhadap dirinya, orang tuanya, dan Ohatsu, dan ayahnya paham sekali akan itu. Tatkala ibunya bertolak ke kuil untuk berdoa, ia dan ayahnya memandang kebun sakura dalam diam. Saat itu angin bertiup kencang sehingga serpihan kelopak merah jambu beterbangan meninggalkan pohonnya. Sambil mencengkeram pundak putranya, Ayah berkata, “Coba kaulihat pohon-pohon sakura itu. Kelopaknya berguguran sampai pohonnya gundul, namun tahun depan pasti akan berbunga lagi.”
Koichi hanya meghela nafas berat. “Tiap tahun memang begitu, Ayah. Tapi apa maksud Ayah berkata seperti itu?”
“Maksudku, apapun yang terjadi sekarang, kau harus tetap melanjutkan hidup,Nak. Ada waktunya dimana kau harus kembali dan berdamai dengan masa lalumu. Kau masih muda, Koichi. Hidup terlalu singkat untuk terjebak di masa lalu.”ujar ayahnya.

Rasa gundah yang selama ini menaunginya terangkat mendengar ucapan Ayah. Kemudian setelah pamit pada kedua orang tua yang sangat dicintainya, Koichi menuruni bukit sembari mengingat momen-momen terakhir sebagai seorang putra hari itu.   Di pagi buta, waktu dimana seharusnya dia dan orang tuanya sudah berangkat ke sawah Ibu membantunya memakai pakaian prajurit dan menyediakan bekal  untuknya. Kemudian Ayah memberikannya sebilah pedang yang selama ini tak pernah dilihatnya untuk dibawa, bahkan menyelipkan pedang itu di sabuknya. Kala senja, Ibu bersama Ayah mengantarnya pergi ke puncak bukit kecil itu, sebagaimana yang beliau lakukan ketika mengantarnya pergi bermain di kebun sakura saat masih seusia Gentaro. Kemudian sebuah nasihat terbijak dari Ayah kini menedekam erat dalam sanubarinya. Saat Koichi menoleh ke arah puncak bukit, Ayah dan Ibu tetap berdiri di sana memandangi kepergiannya dari kejauhan. Tak ada makna tersurat di raut wajah keduanya;hanya doa agar putranya kembali pulang suatu saat nanti.


4 komentar:

  1. uwooo, imajinasi Ratri soal Jepang mengangumkan *baru baca dari bagian awal*.

    Btw, berarti si samurai ini anggota (atau jendral) dari tentara Genji-nya Yoahitsune ?
    CMIIW

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihi, alhamdulillah. arigato, om farid! :D
      iya, tepatnya sih pasukan abangnya si Yoshitsune, si Yoritomo. kan ada di bagian kedua

      Hapus
  2. Ah, aku hanyut dalam cerita. Tampaknya sang kak Ratri paham betul tentang Jepang. :">

    BalasHapus
  3. Hey, Ratri, sori ya waktu itu ceritanya kepotong..hehe
    tp ketemu jg blognya

    vian

    BalasHapus

Komentar boleh, nyampah gak jelas jangan ya :D