
“GRAAAAAA!!!!”
Suara geraman
membuatnya terbangun. Anehnya suara geraman itu bukan berasal dari beruang,
melainkan seorang bocah cilik yang tiba-tiba muncul di hadapannya ketika dia
membuka mata. Si bocah kecil bernama Gentaro langsung menjauh, namun tetap
memandangnya. Terpesona. Persis ketika ia memandang Ohatsu malam itu. Sang
samurai hendak bangkit berdiri, namun kembali jatuh terduduk. Rasa sakit akibat
luka perang kembali meradang di sekujur tubuhnya, sementara Gentaro masih
berdiri di tempatnya.
“Sedang apa kau
di sini?”tanya sang samurai kalem pada Gentaro.
Gentaro
menghiraukan pertanyaannya. “Apa tuan seorang samurai?”
Sang samurai
tersenyum. “Ya, aku seorang samurai. Kenapa kau masih di sini?”
Sekarang Gentaro
menyunggingkan senyumnya pada sang samurai, gigi depannya tanggal. “Aku ingin
melihat Tuan. Ternyata Tuan suka tidur juga seperti kucing.”
Rasa sakit di
sekujur tubuhnya mendadak hilang saat dia melihat keluguan Gentaro, sementara
bocah cilik bermata seperti biji wijen itu hanya tertawa geli.
“Siapa
namamu?”tanyanya sambil membetulkan posisi tubuhnya dengan bersandar pada
batang pohon.
“Gentaro. Aku dan
teman-teman sedang bermain petak umpet. Sssst..tak ada yang tahu kita sembunyi
di sini.. Tuan mau ikut bermain?”lanjutnya sambil membelalakkan mata, seolah
sedang berbagi rahasia dengan bocah seusianya.
Sang samurai
menggeleng karena dadanya terasa nyeri, nafasnya terengah-engah. Namun sebisa
mungkin ditutupinya rasa sakit itu demi
Gentaro.
“Sebaiknya aku di
sini saja, Gentaro. Aku masih ingin istirahat.”
“Kalau begitu
Tuan istirahat saja di rumahku. Ibuku akan membuatkanmu teh dan kue mochi
terlezat yang pernah ada!” kata Gentaro girang. Di luar bajunya yang lusuh dan
kotor, cerlang matanya seolah menjadi penyejuk luka sang samurai. Tawa renyahnya
pun kembali membuatnya merasa lebih baik.
“Kalau aku boleh
tahu, kau dan ibumu tinggal di mana?” tanya sang samurai, rupanya setelah
beberapa jam beristirahat tenaganya kembali terkumpul.
“Kami tinggal di
puncak bukit belakang kebun sakura itu.” balas Gentaro sambil menunjuk ke
sebelah kiri jauh, dimana puncak bukit kecil menyembul diantara pepohonan
sakura. Sejauh mata memandang tak ada tanda-tanda keberadaan sebuah rumah di
sana, hanya tanah lapang mengerucut di barat daya kebun sakura dan torii
(gerbang kuil) kecil di atasnya. Sejenak, hanya sunyi dan gemerisik angin yang menggoyang dedaunan
di ranting pohon menyertai keberadaan mereka berdua.
“Aku ingin
pulang,ah. Aku lapar.”gumam Gentaro.
“Lho, bukannya
kau sedang bermain?”tanya sang samurai.
“Mereka pasti
sudah pulang untuk sarapan, makanya aku lapar. Tuan lapar juga kan?”balas
Gentaro dengan senyum jenakanya. Dipandanginya kebun sakura yang rupanya sudah
sepi. Teman-temannya sudah berlarian pulang ke rumah masing-masing sebelum
melanjutkan permainan sore nanti. Mendengar kata “sarapan”, sang samurai merasa
sangat lapar, mengingat dirinya sudah tiga hari tidak makan sepanjang
perjalanan. Maka ia pun setuju untuk bertandang ke rumah Gentaro.
Jauh sekali..anak sekecil itu jauh-jauh kemari
hanya untuk bermain?
batin sang samurai sembari memandang puncak bukit di bawah bentangan langit
biru. Lagi-lagi, kenangan menelusup ke dalam sanubarinya tanpa permisi, tepat
ketika ia memandang arah rumah Gentaro, yang rupanya adalah kuil.
Di sini, tujuh
tahun silam, adalah kali terakhir matanya memandang sosok Ayah dan Ibu di atas
bukit kecil itu. Dua sosok yang selama ini paling ia muliakan—bahkan melebihi
mertua sekaligus tuannya sendiri—kini kembali hadir dalam imajinya, tengah melayangkan
senyum terindah untuknya dari atas sana, ketika putra tunggal mereka memutuskan
angkat kaki ke Kamakura musim semi itu.
Dia ingat
bagaimana Ayah sering membawanya ke puncak bukit itu sejak kecil, menghabiskan
waktu berdua di sana. Pada hari keberangkatannya ke Kamakura, untuk kali
terakhir ia dan kedua orang tuanya pergi ke puncak bukit. Kala itu ia masih
diliputi rasa bersalah terhadap dirinya, orang tuanya, dan Ohatsu, dan ayahnya
paham sekali akan itu. Tatkala ibunya bertolak ke kuil untuk berdoa, ia dan
ayahnya memandang kebun sakura dalam diam. Saat itu angin bertiup kencang
sehingga serpihan kelopak merah jambu beterbangan meninggalkan pohonnya. Sambil
mencengkeram pundak putranya, Ayah berkata, “Coba kaulihat pohon-pohon sakura
itu. Kelopaknya berguguran sampai pohonnya gundul, namun tahun depan pasti akan
berbunga lagi.”
Koichi hanya
meghela nafas berat. “Tiap tahun memang begitu, Ayah. Tapi apa maksud Ayah
berkata seperti itu?”
“Maksudku, apapun
yang terjadi sekarang, kau harus tetap melanjutkan hidup,Nak. Ada waktunya
dimana kau harus kembali dan berdamai dengan masa lalumu. Kau masih muda,
Koichi. Hidup terlalu singkat untuk terjebak di masa lalu.”ujar ayahnya.
Rasa gundah yang
selama ini menaunginya terangkat mendengar ucapan Ayah. Kemudian setelah pamit
pada kedua orang tua yang sangat dicintainya, Koichi menuruni bukit sembari
mengingat momen-momen terakhir sebagai seorang putra hari itu. Di
pagi buta, waktu dimana seharusnya dia dan orang tuanya sudah berangkat ke
sawah Ibu membantunya memakai pakaian prajurit dan menyediakan bekal untuknya. Kemudian Ayah memberikannya sebilah
pedang yang selama ini tak pernah dilihatnya untuk dibawa, bahkan menyelipkan
pedang itu di sabuknya. Kala senja, Ibu bersama Ayah mengantarnya pergi ke
puncak bukit kecil itu, sebagaimana yang beliau lakukan ketika mengantarnya
pergi bermain di kebun sakura saat masih seusia Gentaro. Kemudian sebuah
nasihat terbijak dari Ayah kini menedekam erat dalam sanubarinya. Saat Koichi menoleh
ke arah puncak bukit, Ayah dan Ibu tetap berdiri di sana memandangi
kepergiannya dari kejauhan. Tak ada makna tersurat di raut wajah keduanya;hanya
doa agar putranya kembali pulang suatu saat nanti.
uwooo, imajinasi Ratri soal Jepang mengangumkan *baru baca dari bagian awal*.
BalasHapusBtw, berarti si samurai ini anggota (atau jendral) dari tentara Genji-nya Yoahitsune ?
CMIIW
hihi, alhamdulillah. arigato, om farid! :D
Hapusiya, tepatnya sih pasukan abangnya si Yoshitsune, si Yoritomo. kan ada di bagian kedua
Ah, aku hanyut dalam cerita. Tampaknya sang kak Ratri paham betul tentang Jepang. :">
BalasHapusHey, Ratri, sori ya waktu itu ceritanya kepotong..hehe
BalasHapustp ketemu jg blognya
vian