Pohon Sakura (Bagian Kedua)


Di dalam alam bawah sadarnya, dia mengingat.
Tujuh tahun dia merantau ke Kamakura, mengikuti tuannya Yoritomo Minamoto sebagai salah satu abdi setianya. Dua tahun berselang, Yoritomo dan istrinya, Hojo Masako mengangkatnya sebagai panglima perang atas keberaniannya pada pertempuran Oshu, kemudian dinikahkan dengan salah satu putri mereka setelah Yoritomo membuka era keshogunan Kamakura. Kehidupannya sebagai panglima sekaligus menantu kesayangan Yoritomo memang menyenangkan dan bergelimang harta, namun pada satu pertempuran sang samurai yang dikenal tangkas dan tak pernah terluka itu akhirnya lengah. Lima anak panah menghujam tubuhnya ketika dia tak sengaja melihat pohon sakura yang tengah berbunga di kejauhan, kemudian tertegun lama sebelum akhirnya terpanah dan jatuh dari kuda. Tentu, saat itu tak seorangpun mengetahui melankolia  panglima perang Yoritomo yang terkenal beringas di medan perang.

Seketika, gambaran mengenai pohon sakura tadi menghantuinya,bahkan ketika tiga orang prajurit menggotongnya ke tenda. Mendadak, sang samurai muda ingin kembali ke desa tempat ia lahir dan tumbuh dewasa. Melalui surat, dia memohon izin pada Yoritomo untuk pulang ke desa guna memulihkan diri setelah pertempuran berakhir.

Indahnya pohon sakura itu membawanya pulang, menariknya kembali pada kenangan  tentang  kampung halaman  dan kisah cintanya. Dengan langkah tertatih dan pandangan mata yang kian kabur ingatannya semakin jelas. Dia ingat betapa sering ia bermain lumpur ketika menemani ayah dan ibunya di sawah, kadang ikut menanam padi di sana. Terkenang masa-masa menyenangkan bersama kawan-kawannya, bagaimana mereka tumbuh bersama dan menyaksikan kedewasaan mereka dari waktu ke waktu, termasuk kisah asmaranya dengan Ohatsu, si kembang desa.

Ah..Ohatsu. Kenangan bersamanya memang paling singkat, namun meninggalkan jejak terdalam di benaknya. Teman masa kecil yang merenggut keperjakaannya saat festival gunung tujuh tahun silam, sebagai puncak atas luapan perasaan yang dipendamnya selama tiga tahun ketika keduanya masih remaja. Tergambar jelas dalam imajinya saat Ohatsu tiba-tiba menarik tangannya ketika sedang menari mengitari api unggun. Dia tidak mabuk, namun ia tersenyum kenes di depan matanya.

“Koichi, ayo ikut!” seru Ohatsu girang sambil menarik tangan kasar Koichi, yang hanya bengong menatapnya. Dia tak menyangka gadis secantik Ohatsu  akan menggandeng tangannya disertai tatapan penuh cinta.
“Kita mau ke mana?” Koichi kebingungan, namun tetap terpesona oleh senyum Ohatsu kala terpancar dari cahaya api. Tanpa berkata-kata, Ohatsu menarik Koichi menjauh dari kerumunan, tepat saat bunyi genderang semakin keras  dan orang-orang semakin larut dalam suasana festival.

Lelah berlari cukup jauh, akhirnya mereka sampai di balik pohon sakura yang belum berbunga. Keduanya bersitatap dengan nafas terengah-engah, kemudian derai tawa merdu Ohatsu membahana di telinganya. Walau hanya sedikit terkena cahaya api unggun, Ohatsu kelihatan cantik sekali,lebih dari yang biasa dilihatnya.
“Kenapa kau tertawa, Ohatsu?” Koichi bertanya tanpa sekalipun mengedip.
“Kau lucu, Koichi,hihi! Tampangmu seperti orang bodoh..”Ohatsu terkikik, seperti orang mabuk.
Tak lama kemudian, Ohatsu berhenti tertawa. Hanya seraut wajah jelita beralis pedang yang menaungi sepasang mata berlian, hidung mancung dan seuntai senyum dari bibir seranum buah persik tengah memandang Koichi, seolah sedang melihat keindahan bulan kala purnama. Kemudian tangannya meraih wajah Koichi, membelainya dengan penuh kasih. Sepanjang tujuh belas tahun hidupnya, tak pernah Koichi merasakan sentuhan selembut itu selain dari sang ibu.

“Tidak. Kau tak seperti orang bodoh, Koichi. Kau tampan.”bisik Ohatsu.
“Lalu kenapa kalau aku tampan?”tanya Koichi, masih tak percaya akan getaran hebat yang terjadi dalam dirinya kini.
“Aku ingin memilikimu, Koichi. Sebelum aku dinikahi bangsawan itu.” suara Ohatsu terdengar lirih sekaligus tajam dalam bisikan. Belum lama ini memang terdengar kabar bahwa Ohatsu akan dipinang seorang bangsawan Edo, namu Koichi tidak terlalu mempedulikannya. Belum sempat Koichi berkata-kata, Ohatsu mencium bibirnya, lalu melumatnya. Jantung keduanya berdetak lebih kencang, entah sadar maupun tidak mereka menelusuri setiap lekuk tubuh, melucuti pakaian masing-masing dan meleburkan raga dan jiwa di sana dalam remang-remang cahaya. Sejenak, mereka lupa bahwa dunia bukan milik berdua, setidaknya hingga fajar menyingsing.

Sejak kejadian malam itu, keduanya tak pernah bertegur sapa, apalagi bicara. Teman sepermainan mereka berdua jadi curiga, ditambah lagi rumor mengenai kejadian malam itu mulai merebak ke seluruh desa. Hampir setiap hari warga desa menanyainya atau Ohatsu tentang malam itu. Muak, Koichi memutuskan untuk meninggalkan desa pada akhir musim semi, sementara Ohatsu tiba-tiba menghilang. Sialnya, sekeras apapun ia mencoba melupakannya, kejadian itu terus terbayang hingga kini,kala namanya bukan lagi Koichi.

1 komentar:

  1. waaaaaaaaaah :o akankah Koichi dan Ohatsu ketemu lagi? penasaran

    Itu si Ohatsu er~ hahahaha

    BalasHapus

Komentar boleh, nyampah gak jelas jangan ya :D