Anak Panah Bernama Mandira




“Engkaulah busur asal anakmu,
anak panah hidup, melesat pergi”-Kahlil Gibran

Januari 2032, pada suatu Jumat malam

“….faktor-faktor yang menentukan naik turunnya grafik ekonomi adalah…ini soal apaan lagi sih?”
Sayup-sayup kudengar suara putriku, Mandira di luar kamar, ketika hendak kembali ke peraduan untuk menyelesaikan revisi naskah. Tak  biasanya dia terjaga saat suamiku dan Nara, putra sulung kami yang dua tahun lebih tua darinya terlelap, karena masih berkutat mengerjakan soal-soal latihan UN di tengah kantuknya sejak tiga jam lalu.

Penasaran, diam-diam kubuka pintu kamar mungil itu.
Kuperhatikan Mandira memandang buku itu lekat-lekat,entah sedang kebingungan mengerjakan soal yang mana atau mencoba memahami maksud soal tersebut. Sesaat dia menggumam, lalu menatap langit-langit dan menorehkan jawaban di atas halaman itu. Namun sesaat kemudian dia mendengus sambil menggoyang-goyangkan pensil, mulutnya manyun karena tak tahu lagi bagaimana menjawab soal itu. Sesekali ia menguap dan membolak-balik halaman, kurasa ia sedang mencari kunci jawaban karena sudah terlalu malas untuk berpikir. Aneh, melihat Mandira seperti itu rasanya sedang melihat diriku sendiri saat seusianya: temperamen dan ogah diganggu.
 UN akan dilaksanakan sebulan lagi, dan sampai sekarang baik Mandira maupun kami masih bingung menentukan SMA mana yang akan dijajakinya kelak. Maka kudekati anakku yang baru berusia lima belas tahun ini, bidadari yang mewarisi mata indah ayahnya.

“Tumben jam segini masih kuat.”
Mandira kontan menoleh, rupanya agak kaget menyadari kehadiranku di kamarnya walau pada saat-saat tertentu kami biasa meluangkan waktu bersama di kamar bernuansa peach ini.
“Iya Bun, masih nyicil buat try out hari Senin nih, susah bangeeet..”ujarnya, setengah mengeluh. “kok Bunda belom tidur?”
“Kerjaan Bunda masih banyak,tadi habis bikin materi buat workshop PR di kampus, ngupdate blog, terus ngirim revisi naskah. Tidur gih, belajarnya dilanjutin besok aja,ya?”
Mandira tak berkutik. Dinding kamar ditatapnya hampa, kemudian menghela nafas berat. Seketika aku tahu Mandira sedang memikirkan sesuatu yang akan diutarakan padaku.
“Bunda, aku bingung..”ujarnya sambil merebahkan kepalanya di kasur. Akupun ikut merebahkan kepalaku di sebelahnya, bersiap mendengarkan isi hatinya.
“Bingung kenapa lagi Nak? ”
“Aku masih bingung mau masuk SMA mana..temen-temenku pada mau masuk negeri, yang lain maunya sekolah internasional. Sementara aku?” Mandira melontarkan tatapan pasrahnya padaku. Kami berdua tahu, selama mengunjungi beberapa sekolah yang menurut kami cukup bagus untuknya Mandira belum menemukan ‘tambatan hati’ dalam menuntut ilmunya kelak. Mandira tidak akan betah di suatu tempat  jika tidak ada ‘chemistry’yang kuat dengan lingkungannya.

“Bunda tebak..Dira belum nemu tempat yang cocok?”
Mandira mengangguk pelan, lalu mencepol rambut ikalnya di atas kepala. “Bunda inget kan waktu kita sama Ayah ke SMA yang di depan SMP-nya Bunda dulu? Sebenernya aku suka banget di sana,  tapi tempatnya nggak banyak yang tahu..”
“Terus apa masalahnya?”
“Masalahnya, aku udah nggak tahan kalo ditanya-tanya, ‘itu sekolah yang dimana sih? Kok ngga pernah denger?’, kesannya terpencil banget gitu. Kenapa sih Ayah sama Bunda nggak nyekolahin aku dan Mas Nara di sekolah yang udah punya nama?”
Di usia lima belas tahun Mandira tega melontarkan anak panah berupa pertanyaan yang langsung menusukku. Tetapi kutangkap anak panah itu, karena aku tahu suatu saat mereka akan menanyakannya.

“Kamu tau kenapa Ayah dan Bunda sengaja nggak nyekolahin kalian di sekolah-sekolah populer? Karena Ayah dan Bunda nggak hanya ngelihat harga atau kualitas dari sekolah itu, tapi juga kualitas dari kalian sendiri dan lingkungan yang akan kalian hadapi di sana. Ayah, terutama, ingin anak-anaknya bisa ‘bertarung’ di berbagai medan supaya punya kualitas bagus jika sudah masuk dunia kerja nanti. Sementara Bunda ingin kalian berdua sepenuhnya berhasil, terlepas dari popularitas sekolah atau kampus tersebut. Maka Ayah dan Bunda sepakat, lebih baik kamu dan Mas Nara menikmati masa sekolah dan punya prestasi bagus di sekolah biasa daripada nggak dapet apa-apa di sekolah populer. Lagipula, pada akhirnya yang dilihat adalah kualitas dari diri sendiri, bukan tempat dimana dia sekolah atau kuliah. Banyak kok yang sudah membuktikannya.”ujarku.

“Termasuk Bunda, Uti dan Kakek?”
Aku mengagguk. “Pasti kamu tahu dari Ayah. Oiya, satu lagi. Dira boleh aja bingung, tapi jangan lama-lama. Time keeps running, kiddo. Segera putuskan apa yang terbaik untukmu, lalu kasih tahu Bunda atau Ayah, oke?”
Baru saja aku hendak beranjak meninggalkan kamarnya, tiba-tiba tubuh rampingnya memelukku erat-erat. Seketika rasa hangat menjalari tubuhku setelah sekian lama tidak mendapatkan pelukan selain dari suamiku, apalagi ketika Nara dan Mandira beranjak remaja.

“Makasih ya Bunda..udah bikin aku gak bingung lagi.”
Kupeluk dia erat-erat. Ucapannya barusan terasa lebih indah daripada approval dari penerbit bahwa naskah novel pertamaku diterima dan akan diterbitkan dua dekade silam. Setengah dari diriku masih tak percaya disamping kesibukanku sebagai penulis lepas, Head of media relations di kedutaan Jepang sekaligus entrepreneur aku masih sanggup berperan menjadi istri dan ibu, dan sungguh, peran inilah yang paling kucintai, sekaligus mimpi masa muda terbesar yang kumiliki.

Jika dulu aku adalah anak panah yang dibidik Ayah dan Ibu, sekarang aku dan suamiku adalah sang busur bagi anak-anak kami. Kini, ada satu lagi anak panah bernama Mandira  yang harus kami arahkan pada keberhasilan yang akan dibidiknya kelak, di sekolah pilihannya. Keputusan ada padanya sekarang, tinggal menunggu kapan dan kemana ia harus dibidik dan melesat dengan dorongan kuat dari kami, ‘busur’-nya dan restu dari Sang Hidup.

 Kurasa setelah ini, atau besok pagi akan kuhubungi Ibu, orang yang mewariskan nasihat ini untukku.
**based on true story, hope it'll happen in the future :)

Regards, Ratri

12 komentar:

  1. Nice blog! ijin baca-baca :)

    kunjungi balik ya www.bloglabil.blogspot.com

    BalasHapus
  2. bagus ceritanya kak :)
    pesan yang ada di cerita ini juga bagus

    BalasHapus
  3. huaaaaaaa ratri itu cerita mu kan?
    muncul sisi keibuan nya :'>
    jadi punya bekel buat anak nanti ~(^^)~

    BalasHapus
    Balasan
    1. yah ketauan deh sisi emak-emak gue, hahaha
      makasih ya rezaa :3

      Hapus
  4. bener" bahasa seorang penulis ya ratri..
    isinya 'ngena' :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. aaah eike masih latihan kok ini, makasih yaa :D

      Hapus
  5. ahh..suka ama pilihan katanya....

    BalasHapus
  6. ditunggu cerita selanjutnya, cerita oke :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. sip!terima kasih yaa, jangan lupa baca cerpen2ku juga disini :D

      Hapus
  7. Nice blog sobat.. postingan2nya juga sangat bagus, menarik dan bermanfaat sakali..:)

    terus menulis menulis yaa..^_^

    oia salam kenal
    kalau berkenan silahkan mampir ke Alvinono blog
    folloback juga ya buat nambah temen sesama blogger,,tukeran link juga boleh,,makasih..^_^

    BalasHapus

Komentar boleh, nyampah gak jelas jangan ya :D